Sukses

Cerpen: Ada Sisa Sabun di Closetmu

Cerpen pilihan Liputan6.com, Minggu (6/3/2016), Ada Sisa Sabun di Closetmu karya Nonadayu

Liputan6.com, Jakarta Kucium semerbak aroma kebingungan di percakapan kita tak ada yang bisa diucap dengan lazim. Kali ini adalah pertama kalinya kita bertemu. Setelah sebelumnya kita terlalu lelap dalam maya.

Matahari mulai menyenja urat semalu. Kau menawarkan sebotol air mineral kepadaku, tanpa ada senyum hanya mata yang malu memandangku atau mungkin kau enggan memandangku.

Aku menolak halus. Lantas kau mengajakku menyeberangi jalan. Kita berdua berjalan tidak begitu sejajar dan tanpa bergandengan tangan. Aroma kebingungan masih semerbak di antara kita.
Percakapan kita hanyalah sebuah basa-basi perbincangan. Tapi aku tetap suka denganmu mesti sesak dengan aroma kebingungan.

Pukul enam sore kurang dua puluh menit kau dan aku duduk dibawah reklame sebuah film dengan bingkai yang sangat besar. Kau duduk di sebelah kiriku. Sambil menikmati semangkok Bakmi Ayam yang tampak tidak nikmat.

Masih dengan percakapan basa-basi yang tak mau mencair bahkan suaramu selalu tak jelas terdengar. Entah mengapa atau memang kau yang pemalu atau aku yang sudah tak bisa menangkap obrolan kita. Aromamu masih terkesan kaku denganku.

“Sebentar ya”, kau berdiri dan berjalan. Aku melihat punggungmu, aku melihat caramu berjalan, ada yang aneh. Ketika kau tegak berdiri kemudian melangkah.

Kau lebih mirip Wayang berjalan yang gagah bagiku. Senyumku mengembang melihatmu dari belakang lantas aku berkata “lucu”. Kau kembali dan berkata dengan suara lebih jernih.

“Bakmi ayam pinggir jalan paling gak enak yang pernah gue makan,” kata kau sambil duduk kembali. A

ku hanya tersenyum dan berkata kepadamu kalau dulu rasanya enak sekali, dan kau tak menanggapi. Percakapan kita terhenti.

Lantas kau mengajakku kembali masuk ke dalam. Jarak untuk sampai di gedung pertunjukan cukup jauh. Tapi kita hanya berbicara seolah malu pada langit dan udara.

Kau selalu suka berjalan di trotoar sementara aku benci berjalan di trotoar.Ka u bilang trotoar untuk pejalan kaki, aku mengikutimu. Tapi di depan jalan, aku berhenti mengikutimu.

Aku lebih tertarik berjalan di bawah trotoar sambil menginjak dedaunan kering yang jatuh.

Lantunnya renyah dan udara sedang begitu segar. Kini kita berjauhan aku berjalan di bawah trotoar dan kau berjalan di atas trotoar. Tanpa ada tatapan dan perbincangan. Kau tetap manis untukku.

“Foto gue dong,” katamu ketika tadi kau mengajakku masuk kedalam gedung pameran seni rupa sebelum pertunjukkan dimulai. Aku memukulmu pelan.

“Mana sini kamera lo?” kataku tanpa sambil melihat ke sudut lukisan

“Kamera handphone,” katamu sambil melihat lukisan yang beda denganku

“Gak papa, sini?,” tapi aku berjalan menjauh darimu menutupi perasan yang entah apa.

Dan kita menikmati galeri seni rupa dengan sendiri-sendiri, kau di sisi kanan aku di sisi kiri, aku di kanan, kau di kiri aku di tengah kau di pojok aku ke sudut kau ditengah. Sampai aku mengajakmu keluar galeri.

“udahan yuk,” kau tak senyum padaku, dan kita sudah masuk kedalam studio pemutaran film pukul tujuh malam kurang sepuluh menit.

Ini yang luar biasa. Aroma kebingungan itu muncul lebih pekat aromanya. Kita sudah duduk bersebelahan menunggu film itu diputar, orang-orang di dalam studio makin ramai dengan puluhan nada bincang merembak di mana-mana.

Tapi apa yang terjadi pada kita? Kita hanya diam dan duduk entah melihat apa. Saat itu kau di sisi kiriku. Kau hanya memainkan kuku-kuku jarimu yang cukup besar dan panjang. Kadang aku melirikmu dan tersenyum di dalam hati. Bukan mencela

kebiasaanmu tapi aku berpikir kau benar-benar lelaki yang gugup dan pemalu. Mungkin aku juga begitu bahkan lebih parah darimu. Buktinya banyak kata yang ingin diucapkan di otakku tetapi entah sulit sekali rasanya bicara.

Rasanya ada sebuah bongkahan es yang menyita setiap kata dan tindakanku. Bodoh sekali, lantas apa juga yang kau rasakan ketika ini terjadi, sebab sudah tiga puluh menit kita terdiam.

“Ini nunggu Gubernur filmnya dateng ya baru filmnya diputer,” kau sedikit tersenyum.

“Iya, lama yah. Nungguin almarhum eyang Biran kali” aku mencoba untuk melucu, tapi kau malah diam dan aku tak mau melihat wajahmu. Aku malu. Setelah itu kita terus saja diam dan tak ada perbincangan. Sampai film diputar dan usai.

Di tempat parkir. Kau tidak bisa menggunakan kunci sekutermu dan kau kerepotan. Bagiku itu fragmen yang kusuka sebab kau melihat aku dengan hitungan lima detik. Aku suka kau melihatku.

Kau masih terus mencoba kunci sekutermu dan akhirnya kau berhasil. Lalu kau memberiku helm bergambar kupu-kupu dan kau memakai helm merah polos yang bertuliskan no label. Aku duduk di belakangmu memegang saku jaketmu berwarna krem muda. Kau
mulai mengendarai sekutermu.

Angin berhembus menerpa wajahku, aku biarkan angin menyentuh pipi dan bibirku. sepanjang jalan aku selalu tersenyum menikmati kedekatan kita di atas sekutermu. Ini mungkin gila, tapi aku memang suka padamu.

Suka itu sudah sejak lama. Bahkan kau pun sepertinya mengetahui bagaimana aku pernah menyatakan kerinduanku padamu di saat dulu. Kuharap kau lupa itu, sebab yang sekarang adalah benar-benar suka padamu. Ada letupan yang bahkan senyumku tak mau melemah saat itu. Sekali lagi aku suka duduk di belakangmu di atas sekutermu malam itu dan angin menjadi saksi atas bibirku yang selalu tersenyum malu untukmu.

Hal terakhir di malam bersamamu adalah pukul sebelas lewat tiga puluh menit, kita sepakat untuk menunaikan sarapan malam dengan nasi goreng di sebuah warung kecil tak jauh dari rumahku.

Aroma kita yang biasa tetap ada walau agak mencair baunya. Lalu kau mengantarku pulang sampai di pintu gerbang. Sekutermu melaju meninggalkan rumahku.

Hati –hati, salamku.

Pukul satu lewat lima puluh menit kau menyuruhku tidur sebab sudah larut. Pesanmu kubaca dengan tersenyum lantas aku tertidur.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ada Sisa Sabun di Closetmu

“Kita tuh temen, ra...gak mungkin!” Ucapku dengan nada tinggi

“Tapi, kita saling suka kan, ???”

“Jelaslah kita saling suka, kalau gak buat apa kita temenan sampe lama begini. Ra,

gua harap lo ngerti posisi kita!”

Aku meninggalkan Bara dan secepatnya keluar dari pintu apartemennya. Dia adalah temanku. Temanku. Dan akan selalu jadi temanku.

Kami memang sangat dekat tapi bukan berarti aku bisa mencintainya. Cinta dengan teman seperti cinta pada saudara sedarah.

Perasaanku bukan untuk Bara, perasaan ini untuk...Ya Tuhan aku rindu pada aroma kebingungan dengannya. Secepatnya aku ingin bertemu dengannya lagi menghilangkan perasaan aneh yang diciptakan Bara.

Bara dan aku adalah teman sejak kami masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Dia dulu adalah teman karibku, selama berteman kami tidak pernah saling suka. Malah sebaliknya Bara lebih sering berpacaran dengan teman-temanku.

Pertemanan aku dan Bara semakin intim dari tahun ke tahun. Bahkan kami sering pergi hanya berdua untuk sekedar makan, nonton, pergi supermarket, toko kaset, karaoke dan main game di rumahnya atau di rumahku.

Sampai dia mulai merasa aku adalah kekasihnyaa dan dia menyergapku memintaku untuk bersamanya.

Kalau saja hatiku bisa dibohongi Bar, aku akan jatuh kepadamu. Tapi kali ini Tuhan sedang menitipkan perasaan untuk lelaki lain, bahkan lelaki yang tidak pernah bisa berbincang denganku, lelaki yang menebar aroma kebingungan, lelaki yang tidak biasa kutemui. Lelaki spesial bukan?

Saat ini lelaki spesial itu ada di hadapanku, sedang membaca buku di ruang perpustakaan. Sudah satu jam kita berdua dingin dalam percakapan. Aku masih tak mampu melihatmu. Kau terlalu acuh

3 dari 3 halaman

Ada Sisa Sabun di Closetmu

“Udahlah..!!!” Aku membanting file book ke lantai. “Ini udah gak ada penawaran lagi, Mett!” Nada bicaraku gemetar, Memet mencoba menenangkanku dengan wajah polosnya.

“Tunggu dulu dong, Ke....”

“Dia pikir gue manekin, apa? Met lo bayangin deh setiap jalan bareng atau apalah dia selalu diem, terus ya udah obrolan kita putus.”

“Sabar, Ke....sabar! Katanya lo suka sama dia udah lama. Lo mesti sabar Ke..!”

“Gak ngerti gue Mett sama dia, udah gitu kalo lagi ngobrol dia suka nyebutin si

monyet itu”

“Monyet? Mantan lo yang cap brand kupu-kupu malam itu” kata Memet sambil nunjuk ke foto cowo yang dicap dengan logo kupu-kupu didalam file book.

“Iyahlah, gue rasa tuh cowo homo!!” aku langsung pergi keluar dari pintu kamar kost Memet. Memet meneriakiku, memanggil namaku.

“Mingke...!!!!” aku menarik nafas dalam-dalam. Mempertanyakan kepada Tuhan kenapa menitipkan perasaan ini ke lelaki itu. Ini betul-betul tantangan yang picisan.

Aku keluar dari kamar kost Memet sahabatku, dulu kami gak pernah akrab sama sekali bahkan aku sempat berpikir kalau memet adalah anak yang “ANEH”. Tapi nyatanya aku sama anehnya. Kita pun berteman.

Memet sangat setia jadi pendengar ceritaku. Semuanya. Semua cerita A sampai Z dan

Memet selalu jadi pendengar terbaik. Memet anak rantau daerah asalnya Surakarta. Bapaknya punya pabrik kain dan ibunya mengelola toko kain Batik di Solo.

Tapi sahabatku itu sederhana padahal kalau dia mau dia bisa saja bergaya necis ala perempuan zaman sekarang. Baju merek Korea lah, masang gigi kawat lah, atau cat rambut supaya lebih mirip artis bule.

Itu kalau cocok, kalau gak cocok? Malah mirip penyanyi dangdut. Dan satu hal lagi memakai kosmetik kecantikan, yang sekarang–sekarang ini sedang memanas di antara obrolan perempuan-perempuan ibukota terutama di dalam WC.

“Rum, itu kamu pakai apa?”, ucap Memet ketika mencuci tangan di wastafel kamar mandi, aku mendengarnya dari dalam toilet.

“Oohh, ini obat pemutih wajah dari dokter xxxxx “

“Emang gak berbahaya?”

“Yah, paling kulit kita bakalan ngelupas panas dan gatel gitu efeknya. Tapi, hasilnya lo lihat dong Met, kulit gue bening kinclong kayak diamond. Gak kayak lo yang item!”

“Iya Arum jadi bening.”

“Lo mau coba? Nanti biar gue yang nganter lo ke dokter xxxxx, gimana?”

“Boleh, tapi gue ajak Mingke ya....?”

“Udah, nih, gak usah banyak mikir, lo bawa aja dulu kotak krim gue, lo cobain sensasinya!”

Suara Memet lesap dari dalam tak ada komentar. Sementara suara higheels Arum terdengar jauh. Aku segera keluar dari toilet. Saat itu Memet tampak kebingungan mencari-cari sesuatu di kotak krim yang ada ditangannya. Memet memandangku dengan wajah lugunya.

“Kok ga ada BPOM nya yah??” aku dan Memet saling pandang , kami tersenyum yang lama-kelamaan membuncah jadi tawa. Akhirnya kotak krim itu dibuang memet ke Tong sampah. Sampah harus dibuang ke tempatnya kan? Lalu bagaimana dengan perasaan yang Tuhan titipkan? Haruskah aku buang?

Aku mengingat kisah yang dulu sebelum Tuhan titipan perasan ini untuknya. Lebih dulu aku mengenal lelaki yang mungkin tidak baik untukku tapi dari lelaki yang tidak baik itu aku mengenalnya. Lelaki dengan rambut ikal dan tubuh tegap bagai wayang ksatria. Wayan.

“Hujan, nih, ke rumah gue aja. Mau?” kata Wayan saat menjemputku di stasiun,

sontak aku kaget dan gugup. Wayan membacanya.

“Tenang di rumah ada nyokap gue”

“Makin parno”

“Yeh, gak apa, yuk”, Wayan mengajakku kerumahnya. Entah karena dia memang malas keluar denganku atau karena hujan deras di ibukota.

Wayan lelaki yang Tuhan titipkan perasaan kepadaku. Wayan lelaki yang menebarkan aroma kebingungan. Wayan yang lebih senang jalan di trotoar. Wayan yang tegap kaku seperti wayang.

“Loh...kok Mas Yan balik lagi?” ucap ibumu yang sangat harum dan terlihat seperti malaikat, cantik dan wangi.

“Iya bu...hujan. kasihan Mingke kehujanan. Bu, kenalin, Mingke...”

Tangan ibumu agak kasar, kurasakan kerutan keriput ditangannya yang menyentuh kulitku. Ibumu tersenyum bersahaja tak mirip kau. Ibumu mengajakku masuk ke dalam dan aroma pohon pinus menusuk hidungku.

Kau menyuruhku duduk, aku duduk di ruang tamu dengan sofa berwarna coklat dan hiasan pigura yang kau bilang koleksi ibumu. Dua gelas susu hangat disajikan ibumu...Ibumu...Ibumu...Ibumu..Aroma apa ini? Setiap kali Ibumu hadir ada Aroma pohon pinus menyertainya. Aku curiga.

“Toilet dong, ” ucapku sambil tersenyum lebar tanpa malu.

“Di belakang, sini gue anter,” kita berjalan masuk lebih dalam ke rumahmu. Aku melihat rambut ikalmu yang gemas. Sambil tersenyum sendiri, tiba-tiba kau berpaling. Aku tegang tertangkap basah.

“Ibu mana?” ucapku kaku dan sangat bodoh

“Kenapa lo? Ibu Paling tidur di kamar atas. Tuh toiletnya. oiya, kalau udah, closetnya disiram pake sabun ya, sabunnya ada di botol warna biru. Jangan sampe kelupaan.”

“Kenapa? Aneh banget.”

“Bukan aneh, ini udah begini dari bapak gak ada. Ibu suka aroma pohon pinus, aroma dari sabun itu. Itu wangi almarhum bapak.” Aku terdiam, seolah menemukan jawaban.

“Udah sana masuk, nanti pipis di celana lagi,” kau meledek sambil menjauh dari pintu toilet.

Kata-katamu benar Wayan, aroma toilet rumahmu semerbak harum pohon pinus.

Terlebih ada sisa sabun di closetmu. Aku mengambil botol sabun berwarna biru itu lalu menuangkannya ke closet.

Apa maknanya? Cinta ibumu penuh dengan aroma pohon pinus yang seolah mendeksripsikan keharuman tubuh lelaki yang ia cintai. Rasanya aku mengerti. Rasanya.

Lalu Wayan, Apakah aroma kebingunganmu adalah deskripsimu. Jika iya aku harus melanjutkan meski aroma kebingungan selalu menjalar di ruang kita.

Aku keluar dari ruang beraroma itu, tepat di depan pintu kau tegap berdiri memandangku. Kini bongkahan es telah mencair dan kuucap segala mauku.

“Wayan...aku suka kamu”, dan kau tak tersenyum.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini