Sukses

Kapan Hoax Bisa Disebut Membangun?

Dilema #hoaxmembangun dapat disikapi publik dengan meletakkannya pada konteks tahun 2018-2019 sebagai tahun politik Indonesia.

 

Liputan6.com, Jakarta Presiden RI Joko Widodo baru saja melantik Mayjen TNI Purn Djoko Setiadi sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara di Istana Negara (3/1). Menariknya, hanya dalam beberapa jam kemudian, Djoko yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara itu langsung menjadi pusat perbincangan warganet di media sosial lantaran pernyataannya tentang “hoax membangun”.

Saat meladeni wartawan, Djoko mengatakan, "Memang hoax ada positif dan negatif. Saya juga mengimbau pada kawan-kawan, putra-putri bangsa ini, mari sebenarnya kalau hoax itu hoax membangun kita silakan saja, tapi jangan terlalu memproteslah, menjelek-jelekanlah, ujaran-ujaran tak pantas, saya rasa bisa pelan-pelan dikurangi."

Reaksi beragam bermunculan dari warganet hingga politisi. Langsung saja, pernyataan itu menjadi bagian dari jajaran trending topic, bahkan nomor satu di laman Twitter Indonesia dengan tagar #hoaxmembangun. Meskipun akhirnya diralat, ujaran tersebut telah menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan, baik dari sisi fitrah hoax itu sendiri maupun diskusi etika strategi komunikasi.

Jika ditengok dari strategi komunikasi, sebuah pernyataan dapat digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya mengenalkan gagasan baru atau mengubah gagasan lama agar publik menerima perspektif yang baru. Dalam konteks #hoaxmembangun, Kepala BSSN tampaknya berpendapat bahwa informasi atau kabar, walaupun bohong, dapat dipersepsikan positif jika dimanfaatkan untuk kebaikan dan pembangunan.

Menurut penulis, dilema #hoaxmembangun dapat disikapi publik dengan meletakkannya pada konteks tahun 2018-2019 sebagai tahun politik Indonesia. Penulis bermaksud melihat bagaimana hoax atau hoaks bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia. Selain itu, menarik untuk menyikapi sebarannya via media digital yang sangat populer di tengah publik.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Asal Usul Hoaks

 

KBBI Daring mencantumkan lema hoaks (dibaca= ho.aks) sebagai berita bohong. Penulisan hoaks sendiri merupakan bentuk serapan dari kosakata asing “hoax” (dibaca= hōks) dan untuk selanjutnya, demi kepatuhan pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, penulis akan menggunakan bentuk “hoaks”.

Hoaks dapat dipahami sebagai produk informasi yang secara sengaja disusun untuk mengaburkan kebenaran agar lantas diterima sebagai kebenaran itu sendiri. Hoaks menjadi berbahaya jika ditujukan untuk memengaruhi publik bahkan merugikan publik itu sendiri karena terjauhkan dari kebenaran yang sebenar-benarnya.

Sejarah hoaks mengalami perjalanan panjang dan banyak versi yang bertebaran di jagat maya. Salah satunya adalah tradisi April Fool’s Day dari benua Amerika. Tradisi ini jamak di Amerika Serikat yang kemudian menjalar ke seluruh dunia. Awal mulanya bisa saja dari keisengan yang biasa dilakukan orang, tepatnya setiap tanggal 1 April.

Sepanjang hari, orang “berhak” mengusili orang lain dan sangat mungkin ia akan mendapatkan balasan setimpal, yaitu diusili kembali oleh korbannya. Konteksnya hanya lelucon. Bersendau gurau. Oleh karena itu, sang korban tak boleh marah, apalagi buru-buru lapor ke polisi.

Namun, kini hoaks tak lagi sesederhana hari konyol sedunia itu, bukan lelucon lagi. Dalam sebuah babak baru, ia menjadi komoditas istimewa untuk kapitalisasi berita bohong dalam skala industri.

3 dari 5 halaman

Bilamana Hoaks Bisa Membangun?

 

Ternyata di Amerika Serikat, ada museumnya yang dikenal dengan nama Museum of Hoaxes di San Diego, California. Sejak didirikan tahun 1997, museum itu didedikasikan untuk menampung dan mempertontonkan kisah tipu-tipu, omong kosong, berita palsu, dan kejahatan informasi yang terjadi sepanjang sejarah manusia, dari masa lampau hingga zaman post truth yang melibatkan peran jejaring jagat maya.

Uniknya lagi, museum itu dibuka selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan sepanjang 365 hari setahun.

Mungkin dalam benak pengelola museum itu, hoaks pantas dikumpulkan, dibuat kajian, didokumentasikan, dan dipertontonkan. Mungkin dengan cara semacam itu, para pengunjung berkesempatan untuk melihat kembali prestasi, media, dan peradaban manusia dari sudut pandang dan dampak hoaks.

Hanya dalam lingkungan pendidikan sejarah dan peradaban kemanusiaan semacam itulah, hoaks dapat membangun karena di situlah, ia menawarkan bahan refleksi bersama, meluaskan cara pandang dan akhirnya menentukan posisi keberpihakan pada sebuah kebenaran.

4 dari 5 halaman

Hoaks di Persimpangan Jalan

 

Meskipun di Indonesia belum terdapat museum hoaks, beberapa pihak termasuk pemerintah tidak tinggal diam menghadapi hoaks. Terdapat upaya mengidentifikasi hoaks dan sebarannya kemudian menyediakan klarifikasi, namun era informasi dan komunikasi digital membuat produksi dan sirkulasi hoaks jauh lebih kencang daripada upaya klarifikasi itu sendiri.

Pemerintah berupaya menapis hoaks melalui berbagai macam kampanye yang melibatkan banyak pihak. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah mendukung gerakan-gerakan yang bersifat literasi media dan digital yang pada dasarnya adalah ajakan untuk membuat dan menyebarkan konten positif. Diantaranya gerakan nasional TurnBackHoax, SiBerkreasi, IndonesiaBaik, InfoPublik dan lain sebagainya.

Gerakan semacam ini diperlukan tidak hanya untuk menapis hoaks, melainkan juga ujaran kebencian, perundungan dan persekusi daring, serta radikalisme di jagat maya.

Penggunaan media sosial menjadi isu sentral. Masyarakat Indonesia sangat menggemari interaksi sosial melalui Facebook, Instagram, Youtube dan Twitter, belum lagi WhatsApp dan Telegram.

Data APJII tahun 2016 yang dilansir Liputan6.com, penetrasi pengguna internet Indonesia mencapai 132,7 juta dengan menunjukkan tiga media sosial terpopuler. Facebook menyedot 71,6 juta pengguna (54 persen), Instagram dengan 19,9 juta pengguna (15 persen) dan Youtube 14,5 juta (11 persen).

Media sosial menawarkan sirkulasi hoaks secara lebih mangkus dan sangkil karena ia hadir dalam genggaman setiap orang. Berdasarkan rilis KataData, penetrasi gawai ponsel pintar di Indonesia mencapai 65,2 juta perangkat di tahun 2016 dan diperkirakan mencapai 92 juta unit di tahun 2019.

Dengan distribusi jaringan telekomunikasi teknologi 4G yang hampir merata di seluruh penjuru Indonesia, maka dapat dipastikan penetrasi pengguna internet akan meningkat tajam dan potensi hiruk pikuk media sosial akan mencapai puncak pada tahun 2019.

Sekedar mengingatkan bahwa potensi lalu lintas informasi, termasuk hoaks, akan melonjak di tahun 2018 dengan adanya momentum pemilihan kepala daerah serentak. Lalu setahun kemudian, digelar ajang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019.

Berkaca dari pengalaman Pilpres 2014, Dewan Pers mencatat sejarah kemunculan hoaks sudah mulai sejak pemilihan presiden tahun itu. Banyak berita yang diproduksi media arus utama dan juga media abal-abal sering kali tidak benar. Ketidakbenaran itu semakin tersebar dengan booming-nya media sosial. Akhirnya, hoaks berkelindan dengan politik melalui media sosial sebagai sarana yang paling sesuai untuk diseminasi berita bohong itu.

Kemesraan hoaks dan politik menemukan bentuk yang baru dalam ajang Pilkada DKI Jakarta 2017 ketika dampak hoaks tidak berhenti pada media-media sosial, namun merasuk ke sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berita bohong tidak hanya membayangi ajang pemilihan kepala daerah itu, tetapi juga mampu menyentuh sisi emosional hingga batiniah para pemilih di Ibukota.

5 dari 5 halaman

Hidup Berdampingan dengan Hoaks

 

Nampaknya dua tahun ke depan, kita harus hidup berdampingan dengan hoaks. Pertumbuhan gawai digital dan popularitas media sosial dipastikan semakin memudahkan distribusi hoaks. Dengan prinsip komunikasi one to many dan many to many, dalam sekejap mata, sebuah hoaks niscaya mencapai genggaman tangan jutaan masyarakat Indonesia.

Upaya penapisan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah dengan kampanye-kampanye literasi digital dan pengejawantahan mesin-mesin pemblokir berharga ratusan milyar rupiah itu. Partisipasi aktif masyarakat juga dibutuhkan agar pengalaman buruk di masa lalu benar-benar menjadi guru yang terbaik.

Kita perlu meluangkan waktu untuk membaca dan membandingkan suatu informasi agar kita memahami bahwa informasi yang kita terima dan hendak kita sebarkan adalah benar dan berdampak baik. Berikutnya, kita juga perlu belajar menahan diri untuk tidak ikut serta menyebarluaskannya sekaligus menghentikan peredaran hoaks tersebut.

Jangan lupa bahwa berdasarkan pesan substansi hoaks, baik bagi pengirim maupun penyebar, seseorang dapat berhadapan dengan hukum di Indonesia, yaitu UU ITE dan UU ITE Perubahan. Secara khusus, pesan hoaks yang mengandung atau terkait unsur fitnah atau pencemaran nama baik dapat dikenai Pasal 27 ayat (3). Lantas hoaks yang mengakibatkan kerugian konsumen dapat dikenai Pasal 28 ayat (1) dan hoaks yang mengandung atau terkait dengan SARA dapat dikenai Pasal 28 ayat (2).

Kita perlu bijak dalam mengonsumsi informasi di dunia maya. Jangan sampai kita hanya menjadi obyek manipulasi informasi yang tidak benar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Oleh Ary Fitria Nandini

Legal and Cooperation Drafter and Analyst on Information Technology,  Kementerian Komunikasi dan Informatika, Republik Indonesia

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.