Sukses

Dampak Buruk Workaholic untuk Keuangan

Ternyata, menjadi workaholic tak selamanya baik. Berikut efek buruk workaholic bagi keuangan Anda.

Liputan6.com, Jakarta Manusia sudah pasti harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kalau tidak bekerja, lantas mau menghasilkan uang dari mana untuk makan?

Gaya bekerja itu sendiri berbeda-beda, ada yang santai, ada yang terlalu santai, dan ada yang gila kerja alias workaholic.

Terlalu santai bekerja bisa membuat karier berantakan. Sedangkan jadi workaholic bisa membuat hidup tak seimbang. Sebab kerja itu untuk hidup, bukan hidup untuk kerja.

Memang kalau mau dilihat dari sisi positifnya, seorang workaholic bisa jadi contoh pekerja yang berdedikasi tinggi dan pekerja keras. Kariernya pun bisa jadi cepat menanjak. Tapi, tahukah Anda kalau jadi workaholic itu juga bisa membuat kantong tidak aman?

Tidak percaya? Simak dulu kerugian jadi seorang gila kerja dan bagaimana menyikapinya seperti dikutip dari DuitPintar.com.

1. Boros biaya obat dan rumah sakit
Seorang workaholic sudah pasti tak peduli soal berapa lama waktu yang dihabiskan untuk bekerja. Yang ada di benaknya hanya kerja, kerja, dan kerja. Padahal manusia itu bukan robot, jadi stamina tubuhnya punya batasan.

Dengan kebiasaan kerja yang di atas rata-rata jam kerja normal, kesehatan seorang workaholic pasti lebih rentan terganggu.

Kalau sudah sakit, pasti harus diobati. Beban pengeluaran karena pengobatan inilah yang bisa menggerogoti keuangan si workaholic. Apalagi kalau gaya bekerja yang tak kenal waktu itu terus diterapkan.

2. Keluar uang terus untuk jajan dan delivery makanan
Betah berkutat lama-lama dengan pekerjaan, juga membuat para workaholic tak mau buang-buang waktu untuk hal lain. Saat lapar atau ingin beli sesuatu, pasti lebih memilih jasa pesan antar atau delivery. Jasa delivery pastinya lebih mahal dibandingkan beli sendiri, karena ada ongkos untuk pihak pengantar makanan juga.

Tak hanya itu, pekerja workaholic juga identik dengan kebiasaan begadang. Dan kalau begadang, otomatis perut jadi lapar terus. Nah, ini yang akhirnya juga memicu aktivitas ngemil. Kalau sudah begini, bujet beli camilan juga jadi membesar.

Bayangkan kalau sehari bisa mengeluarkan uang minimal Rp 50 ribu khusus untuk kebiasaan ini. Dikalikan 22 hari kerja sudah Rp 1,1 juta. Bagaimana kalau sehari lebih dari Rp 50 ribu?

3. Boros kuota internet
Kembali lagi soal fokus dan prioritas untuk bekerja, seorang workaholic biasanya jarang pergi liburan atau hangout. Si workaholic biasanya lebih memilih untuk memaksimalkan waktu bekerja di depan laptop.

Kalau weekend juga masih sibuk kerja, sudah pasti mereka mengandalkan kuota Internet di rumah. Akibatnya, tagihan internet rumah jadi lebih besar dibandingkan orang kebanyakan.

Segala sesuatu yang berlebihan itu memang tidak bagus. Bekerja hingga jadi workaholic adalah salah satunya. Apalagi kalau sampai bikin pengeluaran malah makin besar. Makanya, tak perlu kerja terlalu keras, yang penting itu kerja cerdas.

Daripada menghabiskan waktu terlalu banyak hanya untuk kerja dan mengorbankan hal lain, lebih baik mulai ubah pola kerja Anda mulai sekarang. Begini caranya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

1. Efektif memaksimalkan waktu 8 jam sehari


Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap perusahaan hanya boleh mewajibkan karyawan untuk bekerja selama delapan jam sehari untuk lima hari kerja dan tujuh jam sehari bagi yang bekerja enam hari dalam seminggu.

Aturan ini ditetapkan bukan tanpa alasan. Manusia punya batasan, bisa merasa lelah dan juga punya emosi yang bisa datang dan pergi tiba-tiba. Semua elemen inilah yang memengaruhi kinerja kita. Bekerja di atas delapan jam sehari bukan tidak mungkin bisa membuat seseorang stres bahkan depresi.

Atur pola kerja Anda supaya bisa bekerja tak lebih dari delapan jam sehari. Coba buat daftar prioritas pekerjaan, lebih komit, dan fokus saat bekerja agar semua target pekerjaan bisa selesai tepat waktu.

2. Disiplin
Disiplin di sini adalah bisa membedakan, mana saat bekerja dan mana saatnya bersenang-senang. Saat jam kerja, optimalkan untuk menyelesaikan semua pekerjaan terlebih dahulu. Jangan malah diselingi dengan hal-hal seperti main games, bergosip atau browsing online shop.

Sebenarnya boleh-boleh saja kalau hanya sejenak agak tak terlalu jenuh. Tapi kalau memakan waktu kerja, lebih baik dihindari. Kalau sudah begini, bukan tidak mungkin weekend juga jadi terpaksa bekerja demi menyelesaikan deadline.

3. Sadari bahwa kita karyawan
Kalau kerja keras demi membesarkan bisnis sendiri, ini masih bisa dimaklumi. Tapi kalau kita masih jadi karyawan dan tidak mendapatkan reward yang jelas akan kerja keras kita, buat apa pulang sampai tengah malam atau mengorbankan waktu bersama keluarga?

Perlu disadari, selama kita masih jadi karyawan, kita tidak akan naik kelas jadi pemilik perusahaan. Status kita akan tetap jadi karyawan walaupun bekerja sekeras apa pun. Memang karier kita mungkin bisa menanjak lebih cepat, tapi status tidak akan berubah.

Jadi daripada bekerja terlalu keras untuk perusahaan orang lain, lebih baik alihkan fokus Anda untuk merintis bisnis sendiri. Ini bisa dimulai sebagai bisnis sampingan. Nanti setelah bisnis berkembang, Anda bisa resign dan fokus mengelola bisnis tersebut. 

Saksikan Video Berikut Ini: 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.