Sukses

Korpri Imbau PNS Netral Menjelang Pilkada

Liputan6.com, Jakarta Masa lalu menjadi pelajaran penting bagi Korpri dalam hal netralitas aparatur sipil negara (ASN).

Masih teringat di masa Orde Lama jatuh bangunnya kabinet berdampak pada stabilitas kepegawaian. Semasa Orde Baru (1966-1997), pegawai negeri sipil dijadikan alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Itu sebabnya Ketua Umum DPN Korpri Zudan Arif Fakrullah mewanti-wanti anggotanya agar tidak masuk dalam "jebakan Betmen" dukung mendukung dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang bakal dilakukan serentak pada 2017.

Zudan menyontohkan bagaimana seorang PNS yang sudah berkarier bagus lalu diminta mendukung salah satu calon dengan iming-iming akan naik jabatan. Inilah ujian netralitas sesungguhnya. Kalau si calon yang dia dukung menang, PNS tersebut bisa naik jabatan. Tapi ini sangat spekulatif, dan sebaiknya dihindari ASN.

"Sebab kalau jagoannya kalah bisa 'mandeg' karirnya selama lima tahun. Ini namanya dia masuk jebakan Betmen," kata Zudan.

Korpri telah berikrar menjadi organisasi profesi ASN yang kuat, profesional, dan netral sekaligus sejahtera. Sebagai ASN yang profesional, Zudan mengajak anggota Korpri tidak usah terganggu dalam proses kontestasi Pilkada.

ASN itu semestinya fokus saja pada tugas pokok dan fungsinya menjalankan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

"PNS itu hanya ikut terlibat dalam Pilkada hanya pada saat nyoblos. Di situlah dia menentukan pilihannya, tanpa intervensi siapa pun termasuk atasan langsungnya," kata Zudan.

Apabila ada yang memaksa dan menyeret-nyeret PNS agar mendukung salah calon, Zudan meminta agar ditolak dengan tegas. "Jangan takut dipecat, karena memberhentikan PNS itu diatur UU. Bahkan kalau perlu semua ASN setempat mundur sebagai bentuk solidaritas," tegas dia.

Zudan mengibaratkan, Korpri adalah mesin penggerak pembangunan. Tanpa ASN aktivitas negara bisa berhenti, dan lumpuh.

Bisa dibayangkan akibatnya dalam suatu daerah, gubernur petahana maju kembali mencalonkan diri. Kemudian di saat bersamaan sekretaris daerah setempat juga ikut maju mencalonkan diri. Tak pelak aktivitas pemerintah daerah bisa sangat terganggu.

"Misi dan misi pemerintahan tidak tercapai, ASN menjadi terkotak-kotak dan tidak fokus menjalankan tugas melayani masyarakat," katanya.

Zudan, menekankan, ASN harus kompak dan menjalin kebersamaan sebagai perekat persatuan bangsa.

Soal jabatan dan proses meritokrasi, Zudan menegaskan, para ASN yang profesional tidak perlu waswas. Sebab, karier bukan tergantung oleh atasan, tetapi sesuai dengan tingkat kompetensi, kualifikasi dan kinerja yang tinggi.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo kembali mengingatkan soal pentingnya netralitas PNS.

Mendagri Tjahjo mengatakan, bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk meminimalisasi praktik politik uang di Pilkada Serentak 2017.

BPKP bertugas mengoordinasikan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang salah satunya berfungsi mengawasi netralitas PNS dalam pilkada.

KPK pun telah memonitor sejumlah daerah dengan indikasi korupsi yang kuat, antara lain Sumatera Utara, Riau, Papua, dan Banten.

"Terpadu, antara KPK kemudian BPKP dan kita (Kementerian Dalam Negeri). Karena pilkada serentak ini problemnya adalah yang kami sepakat dengan KPU dan Bawaslu ini, politik uang harus dicegah. Ini politik uang sumber malapetaka di kemudian hari," kata Tjahjo di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin (26/9/2016).

Bagi PNS atau ASN yang nekad menggerakkan massa untuk mendukung salah satu calon, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) telah menegaskan akan memecat PNS yang bersangkutan.

Hal yang sama juga berlaku di tubuh militer.

"Termasuk netralitas TNI, sudah ditegaskan oleh Panglima. Demikian juga dengan Netralitas PNS, kami sudah koordinasi dengan Menpan, banyak yang kemarin turun pangkat dan diberhetikan di Pilkada 2015," katanya.

Pelaksanaan dua pilkada yakni 2015 dan 2017 dengan segala pembenahannya diharapkan akan berdampak pada proses demokrasi yang lebih baik pada pemilu serentak legislatif dan presiden-wakil presiden di 2019.

''Kami juga minta anggota KPUD-nya, Bawaslu-nya yang banyak dipecat sudah mulai tidak difungsikan lagi,''ujar Tjahjo.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.