Sukses

Cerpen: Rusa Betina

Berikut cerpen pilihan Liputan6.com, Sabtu (7/5/2016), "Rusa Betina" karya Rara Ratna.

Liputan6.com, Jakarta oleh: Rara Ratna

Pernah ibunya berkata, “Jangan membunuh binatang saat istrimu hamil,” pada suaminya. Dan mungkin, itu yang kedua kali beliau memperingatkannya.

Aroma daun sirih persis menempel di hidung. Tanaman itu tumbuh liar dan merambat pada batang-batang kayu besar yang mengisi hutan. Tubuh berkulit kuning langsat itu tertutup pohon jati, menyamarkan diri, menunggu waktu yang tepat. Cukup satu tarikan, batinnya, maka rasa penasaran yang meledak-ledak dalam dirinya akan hilang.

Berjarak tiga meter dari tempat persembunyiannya, seekor binatang berbulu cokelat berjalan gelisah. Di tengah-tengah banyaknya makanan yang bisa didapat, ada yang membuatnya tidak tenang. Sesuatu yang buruk, sesuatu yang sudah mengamatinya sejak tadi dan entah di mana bersembunyi.

Pssiuww!

Tepat di leher. Kaki tak beralas itu keluar dari persembunyian, kain batik yang membalut perut buncit sampai mata kakinya menyapu rumput liar juga jamur kuping, di batang kayu yang melintang dan mati. Rumah anak panah melekat di punggung, talinya menyilang di dada montok berlapis kemben, memperlihatkan bahu dan leher yang jenjang. Busur masih siaga di tangan kiri, tangan kanannya mengambil anak panah baru untuk berjaga-jaga jika harus mengulangi pekerjaannya. Binatang itu masih bisa berlari. Anak panah kedua segera dikekang. Kali ini mengincar kaki. Matanya memandang tepat di ujung logam tajam anak panah, dan tepat di kaki depan! Binatang itu terguling dengan dua anak panah menancap di tubuhnya. Rusa incarannya meregang nyawa. Masih ada satu dua napas tersisa, sementara mata hitamnya lurus menatap Si Pemanah. Tapi sepertinya si pemilik anak panah belum bisa bernapas lega…
Karena perut rusa buruannya terlihat buncit, sama seperti perutnya yang juga sedang hamil.

Mata hitam rusa itu menusuk di kerongkongannya hingga dia tak sanggup mengucapkan apa-apa. Awalnya dia bisa mengontrol emosi. Anak panah ketiga dirumahkan, busur diletakkan di sebelah tubuh rusa betina. Si Pemanah mencabut anak panah di leher Si Rusa sebelum akhirnya menarik parang dari tempatnya yang diselipkan di pinggang; parang yang panjang, tajam, dan mengerikan.\

Memotongnya akan mempermudah membawa daging-dagingnya pulang, pikirnya. Dimulai dari memisahkan kepala, ini gampang, terlalu mudah untuk wanita yang sejak kecil sudah berburu dan memotong segala jenis daging buruan.

Tapi mata Si Pemanah terpaku pada mata rusa yang sudah mati. Mata hitam dan berair, berkaca-kaca seolah memohon agar tidak membunuhnya. Mata seorang ibu, mata memelas dan iba. Parang sudah di atas leher Si Rusa, tapi tangan Si Pemanah gemetar dan kehilangan tenaga secara tiba-tiba. Jantungnya berdegup cepat, perutnya terasa mual, keringat dingin mulai bermunculan, dan tenaganya seolah terserap habis oleh tanah.

Di bawah rimbun pohon jati dan semak yang mengelilingi, Darmini berjalan cepat ke rumahnya. Tanpa rusa, tanpa buruannya yang dipanah mati di belantara belakang sana. Kepalanya pening, langkah kakinya seolah diperlambat sesuatu yang tak menginginkannya kembali ke peraduannya.

Dia sudah melakukan dua kesalahan sekaligus. Dia mengingat pesan-pesan ibunya yang tak masuk akal. Tidak bisa dinalar, hanya didasari ‘katanya’ yang diwarisi turun-temurun dari ibunya, lalu neneknya, buyutnya, dan seterusnya.

“Kamu ataupun calon suamimu nanti, tidak boleh membunuh binatang selama kamu hamil…” pesan ibunya, dulu, jauh sebelum Darmini remaja dan dipersunting perjaka pembuat gula jawa dari desa tetangga.

Tapi kali ini ada yang berbeda. Aneh, hingga membuatnya ingin segera pulang mencari tempat berlindung. Di manapun, asalkan bisa melupakan mata hitam berkaca-kaca milik bangkai ibu rusa.

“Aku memanah rusa hamil, aku memanahnya, tepat di leher, tepat di tenggorokannya, tepat di jalan masuknya nyawa. Juga di kakinya, hanya agar aku tidak kehilangan buruanku. Aku baru saja mencabut dua nyawa, Ibu...”

Darmini bergumam terus menerus di gubugnya yang agak jauh dari tetangga. Dipan dari bambu berlapis tikar dengan selimut kain membuatnya makin merasa sendirian. Tidak ada yang akan datang untuk menolongnya dari ketakutan yang melandanya, dari ubun-ubun sampai jari kaki, atau sekadar memeluk. Suaminya sudah berangkat tadi pagi buta untuk mencari lauk ikan dan daging di pasar yang jauhnya berkilo-kilo ke pusat Demak, dan kemungkinan akan pulang dua hari kemudian setelah urusan jual-menjual gula jawa buatannya selesai serta ditambah waktu di perjalanan.

“Duh, Gusti…”

Matanya tertuju pada lumbung padi di pojokan dapur. Mungkin ada sisa padi yang belum ditumbuk, batinnya. Toh, dia masih bisa memakan ubi atau talas untuk mengganti nasi yang memang susah didapat atau ditanam di pinggir Alas Mentaok1. Rasa nyeri di dada dan kakinya bak angin lalu, dia segera mengambil seikat gabah di lumbung, persediaan dua hari sebelum suaminya pulang untuk membawakan gabah baru. Lalu dia bergegas mencari nampan lebar dari tanah liat di bawah dipan. Tempat sesajen yang sudah berdebu, tak peernah dipakai lagi. Untuk hal yang tak pernah dihiraukan keberadaannya sebelumnya, karena hal itu tak tampak ada.

Apa saja dia rapal, tapi semua seolah hanya berhenti di dada. Bibirnya kelu. Alas Mentaok membisu. Sejak diumumkan tentang sayembara membunuh Arya Penangsang, hutan itu menjadi pendiam; gesekan daun-daun terdengar menyakitkan, lalu para burung seolah enggan berkicau. Namun perlahan, sapuan angin menggerakan dedaunan dan kemudian gumpalan angin keluar dari dalam hutan lalu melemparkan sesajen ke belakang punggung Darmini. Penolakan.

**

Rasanya seperti dipelintir ke kiri dan ke kanan. Diperas seperti cucian hendak dijemur, sakitnya seperti ada tangan yang mengaduk perut Darmini di tengah malam di bawah nyala obor yang perlahan padam. Badannya bergelung ke kanan, tapi sakitnya tidak juga berkurang. Lalu dia bergelung ke kiri, juga tak membuahkan hasil. Perutnya makin terasa dipelintir sampai putus, ada jarum-jarum di sana. Menusuk-nusuk sesukanya, di mana saja, mungkin. Tapi ini terlalu menyakitkan. Keringat dingin membanjiri kemben dan jarik tempatnya berlindung dari dingin. Darmini hilang kesadaran, sampai pagi, ketika suaminya pulang lebih cepat sehari dari perkiraan demi membawa ikan segar pesanan istrinya.

**

“Sayang tangan sama matamu lho, lama ndak dipakai buat manah kelinci. Lama-lama kamu lupa caranya pegang panah.”

Karsim menuang air nira dari tabung bambu ke wajan besar yang sedang diaduk-aduk oleh istrinya. Kemudian beralih ke wajan yang baru diangkat. Tangannya cekatan mencetak gula-gula panas menjadi setengah bulatan di batok kelapa. Ada pesanan langsung dari abdi dalem kerajaan Dema. Mungkin gula-gula ini akan dipakai memasak saat pengangkatan Adiwijaya sebagai raja, setelah Arya Penangsang akhirnya tewas dan kerajaan dipindah ke Pajang. Meski tak ada bedanya siapa raja dan di mana pusat pemerintahan sekarang dan dulu, Karsim merasa senang bisa membantu kelancaran proses pergantian tersebut. Terlebih, pesanan gula sudah dibayar lunas di depan, bisa untuk tambahan membeli kambing atau ayam.

“Tangan sama mataku juga yang bikin kita belum punya anak sampai hari ini, Kang. Aku dikutuk. Mungkin hukuman karena dulu sering membantah omongan ibu.”

“Hush! Jangan ngomong sembarangan. Katamu, daun, pohon, burung, bisa dengar omongan kita makanya harus jaga bicara... Kita bukan dikutuk, mungkin belum dipercaya, belum waktunya, yang sabar toh…” Karsim menengok ke sekeliling gelisah.

Darmini membanting adukan kayu di wajan yang mulai mendidih, tangannya beralih pada cetakan gula yang sudah dingin dan mengeras di sebelah cetakan-cetakan gula baru.

“Sudah tiga tahun, kang, sejak aku keguguran. Ndak cuma sekali keguguran setelah itu, aku hampir mati. Mbok Sum aja udah bilang, aku ndak bisa lagi hamil, kita ndak bisa punya anak, kandunganku sudah rusak. Calon anakmu ndak bisa hidup di tempat yang rusak, aku ndak bakal punya anak. Titik.”

Gula aren berhamburan di atas papan beralas daun waru. Gula-gula itu yang terbaik, begitu kabar yang selalu beredar di pasar hingga menarik perhatian abdi dalem untuk memesannya. Darmini tak pernah bisa menahan emosinya tiap kali mereka membicarakan soal anak dan hamil, beruntung Karsim mengerti keadaan istrinya setelah kegugurannya yang pertama dulu.

“Ndak usah bahas-bahas lagi soal panah-memanah. Aku mending manjat pohon aren atau nyari kayu bakar tiap hari daripada pakai panah sama busur itu lagi. Toh kita ndak mati kalau ndak berburu.”

Karsim menyadari banyak perubahan setelah dia menemukan istrinya terkulai di atas dipan mereka tiga tahun lalu. Ada darah mengalir menembus dipan bambu, darah segar milik calon raga anak mereka. Sebelum hamil, Darmini tak pernah percaya mitos meski saat masih kecil, lingkungannya belum mengenal konsep Tuhan yang sekarang diajarkan oleh Sunan-Sunan. Dia berburu seperti laki-kali sejak kecil, bukan di dapur seperti wanita kebanyakan yang dicekoki nasihat kalau tempat wanita hanyalah dapur, kasur, dan sumur.

Dia memanjat pohon selihai Karsim sendiri. Ibunya sering memarahinya ketika sandikolo2 dia masih ada di luar rumah. Setelah menikah pun Darmini masih sama, juga ketika si jabang bayi mulai tumbuh. Terlebih ketika aliran kepercayaan yang baru mulai dikenalkan, wanita lebih memiliki ‘harga’. Bahwa surga anak ada di telapak kaki ibunya, bahwa anak harus menghormati ibunya daripada ayahnya. Kebebasan wanita untuk keluar rumah pun diperlonggar.

“Kamu mau ikut ke pasar besok? Tidak ada yang harus dikerjakan kan di sini? Kakang kemarin lihat pedagang kain-kain, pilih saja sesukamu. Kainmu sudah lusuh, sekalian kita cari bahan makanan buat seminggu, terserah kamu maunya apa. Mumpung kita dapat rezeki nomplok.”

Karsim ingin menyudahi semua omongan tentang kutukan dewa dari istrinya. Di pasar, Karsim bisa menunjukan hal-hal baru yang selama ini tidak diindahkan oleh istrinya. Kain-kain batik, selendang warna-warni, gincu, juga aksesoris seperti kalung atau tusuk konde. Yang paling penting, Karsim sudah berencana ke tukang obat yang dua hari lalu dia lewati. Obat herbal di pot-pot kecil, didatangkan dari Tiongkok, manjur untuk segala penyakit. Banyak sekali yang membeli obat-obatan itu, dari mulai sakit batuk sampai penyakit kulit yang paling parah. Karsim akan bertanya tentang obat penyubur diam-diam, demi dirinya dan Darmini. Lalu menyembunyikannya bersama beberapa keping uangnya, sebelum prajurit-prajurit sialan itu datang dan meminta upeti. Upeti yang diambil terlalu besar, bahkan cukup untuk membeli seikat ikan segar.

Langit masih gelap ketika Karsim dan Darmini menapaki pinggiran hutan. Mereka mengambil jalan memutar karena Darmini menolak masuk hutan, dia merasa diperhatikan sesuatu tiap kali masuk ke sana. Terlebih lagi, suasana masih gelap yang bahkan mungkin ayam saja belum berniat berkokok. Karsim memanggul gula jawa pesanan di atas kepalanya, sedang Darmini menggendong sayur mayur hasil menanam sendiri di belakang rumah. Darahnya tiba-tiba berdesir ketika suaminya membicarakan betapa banyak barang yang bisa dibeli dengan uang hasil dari pesanan abdi dalem, dan akan ditambah dengan menjual gula dan sayuran seperti biasa. Selama ini dia lebih memilih tinggal di rumahnya. Mengganti bumbung nira yang sudah penuh, mengolahnya sendiri, atau mencari kayu bakar di pinggiran hutan. Memanjat pohon kelapa, memetik buahnya dan memakannya sendiri. Parang adalah senjata yang tak pernah ketinggalan, bukan perhiasan, ataupun aksesoris.

Darmini menolak menoleh ke dalam hutan. Seperti ada sepasang mata yang selalu mengintainya, entah mata apa atau siapa. Telinganya menangkap derap kaki, kadang pelan dan kadang seperti berlari. Kepala Darmini menunduk, kedua tangannya meremas ujung jarik penggendong sayuran di punggung. Karsim berjalan di sampingnya sambil bersiul-siul pelan dan tidak merasakan ketakutan Darmini sepanjang jalan melewati hutan.

**

Matahari sudah tinggi saat Karsim dan Darmini sampai di pasar di pusat pemerintahan. Sayuran Darmini masih terlihat segar karena direndam di sungai saat mereka beristirahat. Wajahnya berbinar. Terakhir dia ada di keramaian adalah saat dia menikah dengan Karsim, sebelum diboyong ke rumah mereka sekarang. Kali ini Darmini merasakan tekanan aneh yang muncul dari dalam tubuhnya saat melihat banyak lapak berkumpul di satu tempat. Matanya memerhatikan tiap barang yang digelar di sepanjang jalan. Dia melihat penjual selendang di samping lapak tusuk konde yang berwarna-warni. Rasa penasarannya makin membuncah.

“Berapa lama dagangan kita bisa terjual habis, Kang?” Darmini menggelar sayurannya di sebelah gula jawa.Mereka berdua duduk di sebelah lapak penjual ikan yang diasinkan dan ditusuk dari bagian mulut hingga ekor.

“Tergantung. Kalau yang sudah tahu lapak kakang di sini, mereka pasti ke sini. Gula kita yang paling enak, banyak yang rela menunggu kakang datang demi gula-gula ini. Kenapa? Kamu sudah ndak sabar mau lihat-lihat?”

“Aku tadi lihat selendang di sana. Warna-warni, aku mau satu, kang. Boleh kan?”

“Boleh, tapi nanti ya. Sebentar lagi ada orang yang ambil pesanan, siapa tahu kita dapat uang tambahan dari mereka atau malah dapat pesanan lagi. Biar kamu lihat orangnya, jadi kamu bisa sekalian kenalan sama abdi dalem yang kerjanya sama raja.”

Darmini mengangguk. Suaminya adalah orang yang mudah akrab dengan orang asing, dia pandai merebut hati orang termasuk berhasil meyakinkan Darmini untuk menikahinya dulu. Karsim sendiri juga merasa gelisah, meski sudah menandai tukang obat di sebelah tukang tembakau. Mereka dikerumuni banyak orang yang penasaran oleh suara penjual yang lantang memuji-muji dagangannya. Pot demi pot dikeluarkan, kini Karsim mulai khawatir kehabisan.

“Sepertinya kita harus menginap, langit gelap, takut hujan badai…” Karsim melirik istrinya. Aji mumpung, pikirnya. Darmini mengangguk, toh tidak ada ruginya bermalam. Hitung-hitung mencari suasana baru selain hanya merasakan dipan bambu di rumahnya.

Darmini melihat kelebat selendang-selendang itu. Merah, hijau, cokelat tua, putih, kuning, merah muda, dan biru tua melambai-lambai tertiup angin sore. Matanya dan perhatiannya teralihkan. Warna-warna itu menariknya ke pusaran yang sudah lama tak ditemui. Rasanya seperti tenggelam tanpa harus takut mati. Dia mendekat, menyentuh satu persatu helaian selendang
“Mau salah satu? Pilih saja, selendang bukan sekadar selendang. Selendangnya sudah nenek isi jampi-jampi…” wanita berambut putih mendekati Darmini. Mata tuanya memperhatikan tubuh Darmini dari ubun-ubun sampai kakinya yang telanjang. “Mau menarik laki-laki? Pilih selendang merah…”

Darmini tersentak dari lamunannya. Tangan keriput di depannya sudah siap menarik selendang merah yang sangat anggun, tapi si empunya melihat reaksi Darmini ketika mendengar soal menarik perhatian laki-laki.

“Kamu mau yang warna apa? Yang diisi jampi apa? Jangan melamun gitu, nduk…”

“Saya ingin punya anak, nek…”

Si nenek menarik selendang kuning, kemudian dililitkan pada leher Darmini. Matanya terpejam, lalu tersenyum.

“Pakai saat suamimu menggaulimu. Jampi di dalamnya akan menularkan kehidupan pada calon jabang bayi. Ini juga akan menjaga sampai anakmu lahir asalkan selalu dipakai saat keluar rumah.”

“Benarkah, nek? Tapi saya sudah kena kutukan dewa, saya ndak mungkin punya anak.”

“Siapa pernah melihat dewa? Ingat saja pesan nenek, percaya pada jampi-jampi di dalam selendangnya.”

Darmini mengangguk patuh. Dia pergi setelah menyerahkan beberapa keping uang hasil menjual gula dan sayuran tadi. Langit berubah oranye meski didominasi warna kelabu tanda sebentar lagi akan turun hujan, cahaya matahari tenggelam membubarkan lapak-lapak dadakan yang digelar seadanya dan berantakan. Karsim diam-diam sudah mengantongi obat itu, Darmini mengikutinya ke sebuah penginapan tak jauh dari pusat perdagangan di kerajaan. Penginapan ini sering digunakan untuk istirahat pedagang-pedagang yang datang dari jauh dan enggan berjalan pulang malam hari. Banyak bahaya dalam kegelapan, belum ditambah hujan yang akan meperlambat laju kereta kuda atau sapinya. Kemungkinan dihadang binatang buas atau perampok juga terlalu besar.

Darmini sudah melilitkan selendang itu di pinggangnya seperti penari sejak perjalanan dari lapak nenek tua ke lapak suaminya. Sampai di kamar penginapan, dia tetap mengenakannya meski suaminya sudah melucuti kemben dan juga kain jariknya.

“Kamu yakin selendang barunya mau dipakai? Nanti kena keringat lho…” Karsim sudah meminum obatnya diam-diam. Hanya setengah, tapi gejolak yang ditimbulkan terasa luar biasa. Dia agak khawatir kalau-kalau obat yang diberikan bukan obat penyubur, melainkan obat kuat. Karsim tak pernah meragukan kesuburannya atau istrinya, tapi sekarang usianya sudah tidak lagi muda.

“Yakin, kang. Aku suka selendangnya, biar semangat.”

Keduanya bergumul semalaman. Karsim percaya pada obatnya, sedang Darmini percaya tiap tetes bakal telur yang keluar akan tumbuh minimal satu calon jabang bayi. Selendangnya memberi tenaga lebih, dan memerintahkan alam bawah sadar dirinya untuk percaya akan keajaiban jampi-jampi nenek di dalam selendangnya. Keduanya tak berterus terang kenapa Darmini harus memakai selendang itu, dan Karsim memiliki tenaga perkasa yang belum pernah terjadi sebelum malam itu.
**
Karsim merasakan perbedaan yang terlalu jauh pada istrinya. Percaya kandungannya gugur karena memanah rusa hamil sudah membuatnya mengernyitkan dahi, sekarang istrinya malah percaya jampi-jampi, dukun, takhayul yang katanya dimasukan ke selendang kuning di pinggangnya. Darmini menceritakan semua tentang selendang itu setelah berkali-kali bergumul dengan Karsim, tapi tak ada tanda-tanda kemunculan jabang bayi. Sedang Karsim sendiri sudah sembuh percaya dari hal-hal mistis setelah menikah dengan Darmini. Satu-satunya dukun yang dipercaya hanya dukun beranak. Bahkan obat dari Tiongkoknya pun tidak manjur, makin panjang lah hal-hal yang tidak akan dia percaya.

“Setan apa? Ndak ada wujudnya aja ditakutin, kang…”

“Sandikolo, malam, pagi, siang, sama aja. Ndak ada lah waktu setan pada ngumpul, mau ada hajatan mungkin mereka ngumpul.”
“Dari zaman aku kecil, kang, ibu sudah ngelarang aku makan ceker ayam. Katanya nanti kurisnya berantakan. Tapi kamu lihat sendiri, kan? Pas kita nikah kurisku rapi, malah makin ayu.”

Karsim memandangi istrinya selagi bantahan-bantahan yang pernah diucapkan Darmini berputar-putar di dalam kepala. Jarak mereka hanya lima meter. Darmini duduk di sepotong kayu sambil memilah-milah kayu bakar, bibirnya bergerak-gerak menyanyikan tembang jawa diselingi senyuman kecil. Selendang kuningnya melilit di pinggang, nyaris tak pernah dilepas kecuali saat mandi. Ada sesuatu di sehelai kain yang dibelinya dua minggu lalu selain jampi-jampi, ada nyawa di sana. Bukan nyawa bayi seperti janji nenek itu, tetapi nyawa baru istrinya.

**

“Ada kabar kalau Alas Mentaok mau dibuka, dijadikan wilayah baru,” Karsim memandang hutan di depan matanya. Pembicaraan penjual sagu dengan prajurit penarik upeti di pasar, sedikit mengusik pikirannya. “katanya.”

“Ya bagus kan? Wilayah baru, pasar baru, rezeki baru. Kamu ndak harus dua hari buat jual gula-gula kita.” Darmini menjawab dari dapur.

“Alas ini udah jadi sumber rezeki kita bertahun-tahun. Dari kayu bakar, buah-buahan, sampai hewan buruan…, sudah seperti kebun sendiri.”

“Tapi kan tetap milik raja, ya terserah mau diapain. Pikirkan saja urusan kita, yang jadi hak kita, milik kita.”

“Katanya kalau kita angkat anak, bisa buat pancingan. Banyak yang langsung hamil begitu ngangkat anak. Kamu mau coba?” Karsim seperti teringat sesuatu dan membuatnya kembali bersemangat.

Karsim menggigit pisang rebusnya perlahan. Asap di kulit pisang yang kini layu mengepul, bahkan Darmini yang sedang menarik sisa kayu bakar keluar dari tungku agar apinya mati terperanjat saat ide itu keluar dari mulut Karsim.

Darmini melongok ke luar lewat pintu. Suaminya masih asyik makan sambil melempar kulit pisangnya ke semak-semak belakang rumah. Matanya kembali ke arang-arang yang masih merah di dalam tungku. Selendang kuning yang dibelinya enam bulan lalu masih membelit pinggangnya, meski akhirnya dia menyerah kalau benda itu tak akan pernah berefek pada perutnya. Tapi Darmini kadung suka memakainya. Membuatnya tambah cantik tiap kali dia bercermin di air sungai. Seperti bidadari.

“Untung-untungan, Kang…” Darmini menyusul suaminya duduk di bangku kayu, memakan pisang rebus sambil menghadap pohon-pohon pinggir hutan yang saling bertautan membentuk pagar tinggi.

“Ya kalau ndak dapet anak, kita rawat saja anak ini seperti anak kita. Ndak ada ruginya. Kakang dengar orang ngobrol, katanya di kampung Bojong sana ada yang mau ngasih anaknya. Belum setahun, ibunya sudah hamil lagi. Dia nyerah, suaminya pun penghasilannya pas-pasan. Belum lagi masih ada yang belum keluar dari perut.” Karsim mendengar desahan napas istrinya.

“Ada yang mati-matian pengin anak ndak dijabah, ada yang belum setahun saja sudah mau melahirkan lagi…” dia membelai perut rata berbalut kain batik dengan stagen dan selendang tepat di perut. Matanya menerawang jauh ke tengah hutan, bayangan mata ibu rusa yang mengiba menghantuinya sampai detik itu. Hitam dan berair. Perutnya naik turun, satu kaki depannya pincang, dan lehernya tertancap anak panah Darmini yang lain sampai dia mati setelah panah itu tercabut. Anak panah di kakinya bahkan tak sempat dicabut ketika Darmini memutuskan untuk meninggalkannya pergi.

Rasa terpelintir itu pun sering datang. Di tengah malam atau menjelang fajar. Perutnya seolah diperas, lalu jabang bayinya mengalir di lantai tanah. Merah, mengalir ke tempat terendah, meninggalkan rahim. Memasuki mimpi-mimpinya dan membuatnya terbangun tiba-tiba. Lalu di lain waktu, dia mendengar derap kaki-kaki berlarian di belakang rumahnya kemudian menjauh memasuki hutan.
“Aku mau. Kita ngangkat anak saja kalau begitu.”

“Tapi…” Karsim memotong. “Kita harus ngumpulin uang dulu. Dari yang aku dengar, anak-anak itu tidak diberikan cuma-cuma. Kita beli, meski hanya memberi sekeping, asal jangan main ambil. Katanya, yang gratis cenderung kurang dihargai.”

“Kakang mau kasih berapa?”

“Kalau kakang kasih semua uang sisa hasil pesanan abdi dalem, boleh? Nanti kakang ganti uangnya, kakang buat gula lebih banyak untuk dijual.”

“Boleh, kang! Ndak apa-apa ndak diganti, demi anak kita.” Darmini sudah tak sabar menimang bayi, kali ini masa bodoh itu bayi siapa. Kalau dia tidak bisa merawat anak kandung, dia bisa merawat anak angkat. Nanti akan menjadi anaknya juga, tak ada bedanya asal jangan membicarakan dari mana anak itu lahir. Dari rahim siapa, atau dari telur siapa.

**

Darmini melihat sosok suaminya dari beranda. tangannya berhenti menjalin janur hijau yang nantinya akan digunakan untuk mengangkut gula jawa ke pasar. Suaminya tak membawa barang apapun, memang keduanya sudah sepakat uang hasil jualan hari itu tidak akan digunakan. Darmini sudah memetik jagung dari pekarangan belakang untuk menggantikan gabah, pun dengan sayur-sayuran. Mereka mencari pengganti semua kebutuhan yang biasanya didapat dari pasar. Puasa ayam dan ikan-ikanan, makan seadanya demi mendapatkan anak.

“Buntung…buntung…” Karsim terduduk di lantai tanah. Badannya bersender pada tiang bambu yang menyangga atap. Wajahnya kusut, matanya memerah dan sedikit bengkak.

Darmini menyusul suaminya duduk di lantai teras gubuk mereka. Kepala suaminya menunduk menyembunyikan kesedihan dan kemarahan, sedang dua tangannya merobek daun kering dengan kasar.

“Uang kita diambil prajurit-prajurit itu…”

“Semua?” Darmini menahan suara teriakannya di leher. Tetapi matanya jelas menggambarkan kekagetan dan kekhawatiran. Bayangan bayi di gendongannya kabur seketika.

“Mereka tahu kakang sering ngumpetin setengah dagangan dan keping-keping uang. Katanya itu hukuman sudah berbohong, maafin kakang…kita ndak jadi punya anak lagi…”

Darmini memutar otak di tengah hiruk pikuk caci maki untuk para prajurit. Tidak boleh gagal kali ini, batinnya. Calon anaknya sudah di depan mata, tapi ada saja sandungan menuju ke sana. Kaki telanjangnya berjalan cepat ke dapur, dia mengambil parang lalu membawanya ke dipan tempat dia tidur setiap malam. Diayunkan parang itu ke salah satu kaki yang terbuat dari bambu, sekali, dua kali, tiga kali, sampai keping-keping uang berhamburan. Itu celengan rahasianya. Hasil menghemat sekeping dua keping dari hasil menjual gula, dan rasanya dia sudah memasukan banyak kepingan sisa uang yang suaminya bawa pulang, tapi ternyata hasilnya belum cukup banyak. Belum sebanyak perkiraannya.

“Kang, aku punya ini. Kalau mau, kita bawa saja sayur-sayuran, gula, juga jagung sebagai pengganti kekurangan uang kita. Kita bisa tanam lagi, asalkan kita dapat anak, aku bisa mengalah soal apa saja.”

Kepingan-kepingan itu gemercing berpindah dari tangan Darmini ke tangan Karsim. Darmini berseri-seri, tahu kalau keinginannya kali ini tak bisa dihentikan oleh apa pun. Tidak ada kutukan.

Karsim tersenyum meski pipinya sudah sangat kaku terisi oleh kekecewaan atas dirinya sendiri. Tapi wajah Darmini membuatnya bangkit dari duduk, mencari kantung-kantung untuk barang-barang yang akan dibawa ke rumah calon anaknya. Darmini mengencangkan ikatan selendang kuningnya setelah mengikat daun singkong dan pakis, Karsim mengantongi sisa gula dan jagung yang sudah dijemur. Dan beberapa saat kemudian, kaki-kaki mereka sudah menapaki pinggiran hutan. Matahari baru condong ke sebelah barat, sengatan cahaya matahari terasa begitu pedas di kulitnya. Darmini melihat rusa memperhatikannya dari dalam hutan, seperti ada kilatan darah di lehernya ketika terkena matahari yang berhasil menembus dedaunan. Segera dia memalingkan wajah, mempercepat langkah kakinya, sambil menghiraukan gatal di lengan akibat mengapit daun pakis.

Jarak yang ditempuh baru separuh jalan. Darmini meminta istirahat sebentar di pinggir sungai dangkal dengan banyak batu-batu dan air hijau jernih, yang nanti akan diseberangi. Perlahan dia melupakan rusa di hutan tadi, otaknya sudah dipenuhi bayangan bayi yang sebentar lagi akan dibawa pulang. Dia akan menjadi ibu.

Menyeberangi sungai berarti menyeberang ke desa lain dan meninggalkan Alas Mentaok. Sungai ini adalah batas wilayah. Biasanya banyak yang mencuci baju atau memandikan kerbau atau sapinya di pagi atau sore hari, kemudian muncul kabar keberadaan siluman buaya yang akhirnya sedikit menciutkan nyali mereka untuk berlama-lama di sungai.

Mereka sudah berada di desa yang dituju setelah menapaki batu-batu hitam di sungai. Karsim mengingat-ingat perkataan tukang sagu yang berjualan di sebelahnya. Setelah keluar dari hutan sagu, pilih jalan ke kanan, lurus terus sampai ketemu pohon randu. Gampang dilihat, kata si tukang sagu, soalnya buah randu sudah mulai berjatuhan dan banyak kapas-kapas yang beterbangan.

“Dari situ kelihatan gubug yang di depannya ada ayunan dari kain, itu rumahnya.” Karsim mengulangi perkataan tukang sagu pada istrinya.

Darmini sudah melihat batang besar dengan buah hitam meletek dan memperlihatkan kapas-kapas putih, yang sesekali terbang tertiup angin. Matanya menangkap kain jarik yang diikatkan di atap hingga menyerupai ayunan. Kainnya bergoyang-goyang tertiup angin.
“Kami berniat mengangkat salah satu anak ‘Yu Warni. Kata tukang sagu masih ada anak yang belum setahun.” Karsim membuka pembicaraan setelah tuan rumah mempersilakan masuk dan mengangkut semua bawaannya ke dalam rumah. “Kami bawa sayur mayur dan gula, juga tabungan uang istri saya yang ndak seberapa ini.”

‘Yu Warni mengusap-usap perutnya yang sudah membuncit. Dari wajahnya dia sudah berumur, tapi dilihat dari caranya mengangkat jagung dan gula, dia masih punya tenaga anak muda. Kepingan-kepingan uang di hadapannya belum disentuh, entah karena apa.

“Kami janji, kami akan rawat anak ‘Yu Warni sebaik-baiknya. Aku sudah keguguran berkali-kali, mencoba berbagai cara agar hamil, tapi ndak ada hasil. Mungkin caraku punya anak lewat Yu Warni ini, kami jamin ndak akan kelaparan…” Darmini menyeka keringat di dahinya, lalu tanpa sengaja melihat anak panah yang ditancapkan pada tembok bambu di belakang ‘Yu Warni. Bulu kuduk Darmini seketika meremang.

“Bukan aku ndak boleh, tapi…tadi pagi ada orang yang lebih dulu ke sini, berniat sama, dan aku sudah memberikan anakku padanya. Kalian terlambat, maaf…”

Darmini mencelos, pun dengan suaminya. Rasa lelah tiba-tiba menyerang. Kakinya baru merasakan pegal dan perih. Dia menangis, membasahi selendang kuningnya dengan air mata dan keringat.

“Aku juga kaget, masih pagi sekali, tiba-tiba ada wanita seumuranmu..” ‘Yu Warni memandanag Darmini. “ Pakai selendang kuning juga, cantik, wajahnya seperti bidadari, sopan sekali. Dia bilang, anaknya mati waktu masih dalam kandungan. Dia juga mendengar kabar seperti yang kalian dengar, lalu ke sini. Kata-katanya lemah lembut, anak saya langsung akrab. Anak kecil ndak bisa dibohongi, tah? Jadi saya ikhlaskan dia dibawa.”

Air mata Darmini seolah habis. Dia sudah tidak bisa lagi mengeluarkannya, hanya sesenggukan sambil menutupi wajahnya dengan selendang. Karsim mengusap-usap punggung Darmini, sementara hatinya sendiri mulai mengeras.

“Kalian bawaannya terlau banyak, wanita itu hanya membawakan anak panah itu…” ‘Yu Warni menunjuk anak panah yang menancap di dinding. “Satu kaki dan satu tanduk rusa yang katanya akan menarik banyak rezeki kalau di gantung di depan pintu. Tanduknya titipan dari suaminya, sedang kaki rusa itu mungkin dari rusa yang sama.”

Darmini mengangkat wajahnya, mencari-cari kaki dan tanduk yang ‘Yu Warni bicarakan. Benar, digantung di pintu yang tadi dia lewati. Keringat dingin menetes di dahi Darmini. Dia kenal anak panah itu, anak panah dengan akar ilalang yang diikatkan di ujungnya. Darmini sendiri yang mengikat itu, mengingatkan kapan dan di mana dia meninggalkan satu anak panahnya bertahun-tahun lalu.

“Ya sudah. Mungkin bukan rezeki kami…” Darmini mengambil inisiatif pamit. Dia sudah tidak nyaman melihat anak panah itu, pun dengan kaki serta tanduk rusa kecil yang tergantung di atas pintu. Darmini ingin segera pulang. “Sayurannya kami tinggal, ‘Yu. Bisa dimasak kapan-kapan untuk makan anak-anak, uangnya anggap saja rezeki yang di dalam perut. Kami pamit…”

Keduanya seolah habis tenaga. Pikiran kosong dan mereka hanya bisa saling diam selama perjalanan pulang. Matahari makin condong ke barat saat mereka sampai di sungai. Darmini terhenyak melihat ke seberang, Karsim ikut menghentikan langkah dan mengikuti arah pandangan istrinya.

Selendangnya berwarna sama, jarik dan kembennya seperti baru dibeli dari tukang kain; masih sangat bersih. Rambutnya hitam digelung dengan tusuk konde berhias kelopak bunga berwarna kuning juga. Wajahnya bersinar, seperti bidadari, sangat cantik. Satu tangannya memeluk anak kecil yang kemungkinan belum genap setahun, sedang satu tangan lainnya hanya sampai siku. Anak itu tersenyum melihat Darmini dan Karsim, lalu memeluk leher wanita itu lebih kencang. Di belakangnya, seekor rusa bertanduk satu berdiri gagah dengan bulu cokelat mengilap karena matahari sore. Matanya hitam, menatap lurus dan waspada ke seberang sungai.

Darmini terpaku. Lehernya tercekat tak sanggup berbicara, kakinya refleks mengejar, namun dia terpeleset batu berlumut dan jatuh terduduk di sungai. Tangannya menggapai-gapai, mulutnya ingin mengatakan sesuatu tapi tak juga ada suara yang keluar dari bibirnya. Wanita itu tersenyum lalu berbalik ke arah Alas Mentaok menjauhi bibir sungai, kemudian lenyap, bahkan sebelum kakinya menyentuh akar pohon mahoni. Diikuiti oleh rusa bertanduk satu di belakangnya, yang juga segera menghilang.

Karsim membeku, Darmini masih menggapai-gapai. Air matanya tumpah kembali, dia ingin meneriakan sesuatu yang sudah sampai di leher sebelum wanita itu menghilang. Tapi lagi-lagi terlambat, Darmini menyerah. Bahunya naik turun menahan tangis, tangannya memukul-mukul air sembarang. Ibu rusa mengambil anaknya. Ibu rusa membawakan karma ke hadapan Darmini, tepat waktu.

“Maaf…” lirihnya, tenggelam oleh suara air. “Maafkan aku…”

 

1. Hutan yang nantinya dikenal dengan Kerajaan Mataram.
2. Saat sebelum maghrib; kata orang zaman dulu, sandikolo itu waktu di mana setan-setan keluar (mitos).

 

Rara Ratna, novel duet pertamanya berjudul Flip-Flop (2015), juga menulis cerpen di beberapa antologi. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini