Sukses

Cerpen: Kisah Yang Tak Sampai

Cerpen pilihan Liputan6.com minggu ini: Kisah Yang Tak Sampai karya Sulung Lahitani.

Liputan6.com, Jakarta Bau amis merebak dari kios ikan tak jauh dari tempat Yang berada. Yang tak peduli. Pandangannya tertancap pada gemuruh ombak. Hiruk pikuk angkutan yang berdesakan melewati bibir pantai pun, tak Yang acuhkan. Seolah hanya raganya yang saat itu berada di tepi Pantai Padang. Sedari tadi Yang diam bergeming. Entah apa yang dipikirkannya. Sejenak, perhatiannya teralih. Telepon genggamnya bergetar. Ia tahu siapa yang menelepon, namun karena itulah Yang justru tidak ingin mengangkat telepon tersebut.
Ibu terlalu berlebihan menjagaku.

Yang mengeluh dalam diamnya. Terkadang, ia tak habis pikir. Sampai kapan ibu akan mengatur kehidupannya. Padahal separuh dari umurnya telah ia berikan untuk mematuhi kata-kata ibu. Sejak kecil, Yang telah berusaha mematuhi kemauan ibunya. Tapi semua seolah belum cukup. Ibu seperti menginginkan Yang seutuhnya.

Yang menghembuskan napas panjang. Orang yang ia tunggu belum juga datang. Yang memperhatikan sekelilingnya. Dua depa dari tempat Yang duduk, penjaja jagung bakar mulai mengipasi dagangannya. Asap pembakaran membuat Yang terbatuk kecil. Sesaat setelah batuknya reda, ia mendengar batuk yang lain. Batuk dibuat-buat. Yang tersenyum.
Sudah lama?

* * *

Tidak berlebihan kiranya jika Yang berpikiran bahwa ibu tidak pernah benar-benar mempedulikannya. Bagi ibu, Yang hanya pajangan. Ibu benar-benar menjaga Yang agar Yang tidak berkenalan dengan orang yang tidak ibu kehendaki. Ibu hanya ingin Yang kelak meneruskan bisnis warisan keluarganya. Maka Yang cuma diperbolehkan berteman dengan orang-orang setara.

Bergelimang harta tidak berarti membuat Yang merasa berharga pula. Justru ada sesudut hati Yang yang terasa lompong. Telah banyak ia dikenalkan dengan beberapa pria oleh ibu, tak satu pun yang berkenan di hati Yang. Di mata mereka Yang tampak seperti lembaran kertas.

Minggu pagi, seperti biasa Yang menghabiskan waktu dengan berlari. Kali ini tujuannya Jembatan Siti Nurbaya. Ia merasa menanggung beban yang sama dengan tokoh tersebut. Perempuan yang sering kali diceritakan dosennya sebagai bentuk penindasan akan perempuan. Bukan berarti kemudian Yang ikut-ikutan menjadi feminis, Yang cuma merasa punya ikatan batin.

Jembatan merah tersebut cukup ramai. Beberapa orang tampak baru kembali dari daerah seberang. Sekali saja, Yang ingin ke Jembatan Siti Nurbaya di kala malam. Menurut temannya, jembatan merah ini tampak lebih indah saat malam tiba. Warna merahnya kan berpendar disirami cahaya lampu di sisi-sisi jembatan. Walaupun begitu, keluar rumah di malam hari sama saja melanggar tabu dari ibu.

Yang memperlambat larinya. Berhenti di salah satu sisi jembatan. Matanya memandang lurus ke arah bawah. Beberapa kapal tampak ditambat di pinggir sungai. Bagaimana rasanya mengarungi samudra? Apakah samudra justru menjanjikan kebebasan yang tak Yang dapatkan di daratan?

Yang baru saja akan kembali melanjutkan berlari ketika sesosok pria menarik perhatiannya. Pria tersebut duduk di salah satu pinggir jembatan. Di depannya, terhampar dagangannya. Tangannya asyik bergerak mengisi cangkir dengan adonan putih kental. Setelah dirasa takarannya pas, pria tersebut akan menuangkan adonan ke dalam loyang berbentuk bulat pipih. Tak menunggu lama, adonan tersebut masak dan penjual menghidangkannya di dalam piring bersama kelapa.

Ah, serabi. Sudah berapa lama ia tak mencicipi kue tersebut? Sewaktu kecil, serabi selalu menemani waktu sarapan Yang. Mengenang masa lalu, Yang tak lupa memesan satu. Setelah terhidang, Yang memakannya dalam diam.

“Tidak enak ya, Ni?” Si penjual memperhatikan ekspresi Yang. Pertanyaan tersebut membuat Yang tersadar. Tergagap ia menjawabnya.
“Enak, enak.”

“Lalu kenapa muka Uni seperti tampak tidak menikmatinya? Seperti ada yang salah dengan serabi buatan awak?”
“Tidak, bukan begitu. Hanya saja, aku sedang berpikir.”

“Tidak baik makan sambil berpikir, Uni. Makanan harus dinikmati dengan hati lapang. Maka makanan tersebut akan menimbulkan kegembiraan pula bagi penikmatnya.”

“Oya, bagaimana kau bisa tahu? Padahal usia kita sepertinya tidak berbeda jauh?”

“Begini-begini, awak orangnya suka membaca Ni.” Pria tersebut tersenyum sembari menundukkan kepalanya.

“Baiklah, maafkan aku yang tampak tidak menikmati hidangan buatanmu. Mungkin kau bisa membuatkanku satu lagi?” Yang tersenyum. Tidak baik ternyata membawa kegelisahan kemana-mana. Bahkan kegelisahannya tampak dari cara ia menyantap makanan.

“Baik, Ni. Segera!” Permintaan Yang seolah tegangan yang membuat pria tersebut bergerak tangkas. Tangannya lincah menuangkan adonan dan memasaknya menjadi serabi.

“Siapa namamu?” Tak mampu berdiam lebih lama, Yang mencoba mengenali si penjual lebih dalam.
“Randu. Nama awak, Randu.”

* * *

Sudah lama?

Randu melempar senyumnya sebagaimana yang biasa Yang lihat saat membeli serabi. Waktu berlalu cepat bak guguran daun. Yang tak ingat kapan tepatnya. Kini ia merasa hidupnya tak stagnan seperti dulu lagi. Randu menghadirkan warna tersendiri. Gelak tawanya mampu mengisi kelowongan dalam hati Yang. Keramahan Randu dalam melayani pembeli, mengingatkan Yang dengan prinsip berdagang yang pernah diajarkan kakeknya dulu.

Tentu saja pertemuan-pertemuannya dengan Randu tidak boleh diketahui ibu. Yang selalu mencari alasan untuk bisa sekedar keluar bersama Randu. Yang seolah menemukan kebebasan yang selama ini ia impikan. Bersama Randu, ia akan menjelajah di dalam pasar sembari menemani Randu membeli bahan untuk berjualan serabi. Pernah pun Randu mengajaknya ke Pantai Air Manis. Mengunjungi tempat membatunya si anak durhaka, Malin Kundang.

Tak pernah Yang menyangka, ternyata kisah Malin Kundang bukan sekadar isapan jempol. Yang sendiri menghetahui kisah Malin Kundang justru dari guru sekolahnya. Ibunya tak pernah berniat mendongeng di luar klannya. Walaupun Yang menyukai cerita-cerita dari dataran Cina yang pernah didengungkan ibunya dulu, Yang tak menolak cerita-cerita daerah. Malah ia pernah berharap tidak dilahirkan di dalam keluarga Cina. Mempunyai mata sipit dan kulit kuning langsat selalu membuat Yang menjadi pusat perhatian.

“Kali ini mau kemana?”

“Petualangan apa lagi yang akan kau tawarkan?”

Randu berpikir sejenak. Pandangannya berputar liar ke sekitar. Yang menunggu sembari menikmati sosok teduh itu. Leher Randu tampak begitu kokoh. Sementara kulitnya yang kecoklatan, mengilatkan kerja keras yang selama ini ia lakukan.

“Bagaimana kalau ke Museum Adityawarman? Bukankah kita belum pernah mengunjunginya?”

Yang mengangguk. Randu menarik tangannya lembut. Sekilas, Yang merasa begitu istimewa. Langkah mereka berpadu menuju sebuah museum yang letaknya tak begitu jauh dari pusat kota.

Di Museum Adityawarman, Yang begitu menikmati kebersamaannya bersama Randu. Menyusuri tiap sudut museum, sembari memperhatikan benda-benda peninggalan. Di beberapa tempat, mereka tersenyum melihat lukisan tata cara perkawinan di Minangkabau. Meski Yang tidak terlalu mengerti, Randu tak kan segan membantunya menjelaskan bagian tersebut.

Letih menjelajahi isi museum, Randu mengajak Yang duduk di rerimbunan pohon di luar museum. Kemudian, entah siapa yang memulai. Tiba-tiba saja bibir mereka telah menyatu. Yang merasai bibir Randu begitu lembut. Ia teringat dengan tahu sutra yang biasa dibeli si bibi. Kelembutannya tidak begitu berbeda mungkin.

“Maaf.”

“Untuk apa?” tanya Yang

“Maaf karena bertindak terlalu berani.”

Yang diam. Ia tidak menjawab permintaan maaf Randu. Sebagai jawaban, Yang menyisipkan tangannya pada tangan Randu. Genggaman halus yang ia rasa sudah cukup sebagai jawaban atas perasaan bersalah Randu.

* * *

Ibu meradang! Ia memergoki Yang saat menemani Randu berjualan. Langsung saja ibu menyeret Yang ke dalam mobil. Tak peduli beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Tak peduli Yang meringis kesakitan. Malahan ibu menyuruh beberapa orang pria berbadan besar yang biasa berjaga di depan kedai untuk tinggal, memberi beberapa pelajaran buat Randu yang terbengong-bengong.

“Sudah berapa kali kubilang, jangan pernah bergaul dengan orang-orang rendahan!”

Cuping hidung ibu membesar, nafasnya terdengar begitu menderu. Yang terguguk di sudut kamar. Ia tak menyangka ibunya semarah itu. Yang meraung, tapi raungan tersebut hanya terdengar di bilik hatinya.

“Kau itu sudah kujodohkan dengan saudagar! Jangan sampai kau gagalkan rencana yang sudah kuatur masak-masak. Sekali lagi kau menemui laki-laki miskin itu, ia hanya akan pulang nama, tanpa tubuh!”

Ibu membanting pintu. Kebisuan menyergap Yang. Ia rasakan tubuhnya menggigil. Ada dingin yang menyergap-nyergap, ada luka yang memerih. Kenangan-kenangan melesak di depannya begitu saja. Bagaimana dengan Randu? Apa yang ibu lakukan padanya.

“Sudah kau bereskan?” Lengkingan suara ibu terdengar hingga ke bilik tempat Yang berada.

“Beres, Nyonya. Ia tak kan mungkin bisa berjalan lagi, selamanya!”

Perih menghujam ke jantung Yang. Ia seperti tidak mempercayai pendengarannya. Apa? Ibu menyuruh orang suruhannya untuk membuat Randu tidak dapat berjalan lagi? Lalu bagaimana dengan dagangannya? Bagaimana dengan dua adik yang menjadikan Randu tempat bergantung?

Yang mencongkel jendelanya. Sigap meloncat ke halaman, Yang pun menghambur ke jalanan. Tujuannya tidak lain, jembatan Siti Nurbaya. Tapi ia tidak menemukan Randu di tempat biasa berjualan. Ia hanya menemukan beberapa perkakas yang terserak, diobrak-abrik orang suruhan ibunya.

Yang hampir saja kembali berlari saat matanya menemukan secarik kain. Ia yakin kain tersebut bagian dari celana Randu tadi. Yang meraung. Tubuhnya oyong ke bibir jembatan. Terpeleset adonan serabi, tubuh Yang meluncur menuju sungai. Hamparan air menyambutnya mesra. Jembatan merah semakin memerah, kisah Siti Nurbaya pun kembali berulang.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini