Sukses

LGBT, Aku Tak Menyesal Jadi Gay (1)

Kisah LGBT, Aku lahir sebagai anak laki-laki dengan latar keluarga tak harmonis. Perceraian ibu dan ayah jadi awal perjalananku sebagai gay

Liputan6.com, Jakarta Ini cerita sesungguhnya dan bukan khayalan dari seorang teman yang bercerita kepada penulis. Begini kisahnya : 

Aku dilahirkan sebagai anak laki-laki di Ibu Kota. Di tengah keluarga yang terbilang tak harmonis karena orang tuaku telah bercerai ketika aku masih bayi. Jujur, hal itu membuatku terpukul.

Karena perceraian tersebut, aku pindah ke Medan bersama Ibu dan kakakku dan tinggal di kediaman nenek. Namun, kepindahan tersebut menjadi awal perjalananku sebagai seorang gay yang kepada liputan6.com kuceritakan seperti ini.

Tinggal bersama anggota keluarga yang mayoritas perempuan membuat aku memahami dan mendalami perasaan mereka. Tak hanya sampai di situ, ketika usiaku menginjak 5 tahun, aku lebih memilih boneka sebagai teman bermain ketimbang mobil-mobilan atau robot-robotan yang dibelikan ibu sepulang dari Jakarta.

Tak pernah bertemu dengan ayah kandungku sampai berusia 8 tahun membuatku kehilangan sosok laki-laki yang mungkin seharusnya jadi contoh dan panutan. Aku pun mulai merasakan keganjilan yang terjadi pada jati diriku sebagai seorang bocah berkelamin laki -laki.

Menginjak bangku kelas 3 SD di Medan, aku mulai merasa tertarik dengan teman laki-laki sebangku, sebut saja Rudi. Saat itu, tanpa kusadari muncullah perasaan suka dengan wajah dan bentuk tubuhnya yang menyesap dalam pikiranku ketimbang ketika melihat teman-teman perempuanku.

Awalnya, aku pikir hal ini wajar karena dilandasi sebuah kekaguman saja. Namun, aku menyadari bahwa perasaan tersebut menjadi awal penemuan jati diriku sebagai seorang gay.

Aku merasa beruntung karena ibu dan kakakku tak pernah menjejali pakaian atau bahkan riasan perempuan pada diriku. Aku tetap nyaman dengan penampilan priaku, tetapi mungkin lebih pesolek saja.

Bukannya aku tak pernah didekati oleh teman perempuan, bahkan ada salah satu dari mereka yang bernama Maryani sempat dekat. Namun, tetap saja, perasaan yang timbul saat aku mencoba dekat tak bisa disamakan ketika dihadapkan dengan teman laki-laki.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kekerasan seksual

Kekerasan seksual

Ilustrasi. Kekerasan Seksual (sumber, drphil.com)

Setelah tinggal bersama penghuni rumah yang mayoritas perempuan, menginjak masa peralihan SD menuju SMP, aku tinggal bersama sepupu-sepupu laki-laki.

Pada sebuah acara yang tak kuingat pasti, teman-teman sepupuku turut diundang dan mereka datang. Namun, mengetahui orientasi seksualku, mereka malah berniat mengerjaiku dengan mengajak melakukan masturbasi depan mereka.

Aku pun melakukannya di depan mereka dan anehnya tak ada sedikitpun rasa penolakan atau pun penyesalan. Aku sadar mereka hanya ingin mengerjaiku, tetapi tak kupungkiri, aku turut menikmatinya.

Tak hanya sampai di sana, kedua teman sepupuku berusaha untuk menggagahiku. Namun, rasa sakit yang kualami menghentikan niat mereka, malam itu.

Sempat terbersit pertanyaan dalam pikiran apakah yang terjadi pada diriku semata-mata karena sebuah trauma. Sampai detik di mana aku menceritakannya, tak ada jawaban yang pasti akan hal tersebut.

3 dari 3 halaman

Fase Pembenahan

Fase Pembenahan

Ilustrasi. Pembenahan diri (Sumber. www.expozero.com)

Bergaul dengan banyak perempuan, mengikuti dan bahkan mendalami perasaan mereka, tak ayal membuat perangaiku menyerupai mereka. Hal tersebut akhirnya disadari oleh kakakku karena ketika menginjak SMP, ia mendengar bahwa aku menjadi bahan ejekan di sekolah.

Malu dengan hal itu, tingkah lakuku pun diadukan pada ibu. Hal itu menyulut pertengkaran hebat antara aku dan kakak sampai berujung pada perkelahian.

Perkelahian antara aku dan kakak, seperti layaknya dua orang perempuan yang memilih untuk mencakar dan menjambak.

"Aku juga bingung saat itu, aku malah pilih berkelahi dengan cakar-cakaran dan menjambak," ujarku kepada Liputan6.com sambil tertawa.

Setelah perkelahian tersebut, aku pun mengurung diri di kamar karena tidak mengerti apa yang salah dengan kepribadianku. Saat bercermin, aku bertanya apakah perangaiku menjadi faktor utama masalahnya atau mungkin orientasi seksual.

Namun pada saat itu, aku memutuskan untuk melakukan pembenahan dari aspek perangai dan gaya bicara. Aku masih merasa bersyukur tidak suka atau terpikir untuk mengenakan pakaian wanita walaupun kenyataannya aku lebih tertarik dengan sesama jenis.

Kini, aku bekerja sebagai seorang fashion buyer di Indonesia. Menurutku, kondisi ini malah menguntungkan dalam karir.

Aku merasa jadi pribadi yang lebih fleksibel di antara lingkungan pertemanan dan pekerjaan. Selain itu, kemampuanku untuk memahami perasaan perempuan, tetapi bisa berpikir sebagai pria, membuatku mudah diterima dan bahkan membentukku sebagai pribadi yang tekun.

Sampai saat ini aku merasa bahwa "I'm a strong character and happy gay".

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini