Sukses

Seruit, Hidangan Khas Lampung Nikmatnya Saat Bersama

Makanan khas Lampung ini punya filosofi, sebagai makanan yang dinikmati bersama

Liputan6.com, Jakarta Seorang bapak bertanya kepada anaknya.

"Makanan khas Lampung apa, coba?"

"Mmmh apa ya?"

"Ayo, apa?"

"Kasih petunjuk, Pa?"

"Itu loh yang ada nasi, ada sambal, ada ikan, terus dimakannya dicampur"

"Ah, aku tahu..."

"Apa, coba?"

"Pecel lele....!"

"Sayang.... makanan khas Lampung yang Papa maksud tadi bukan pecel lele, tapi seruit"

Penggalan lelucon tersebut diucapkan oleh salah satu komika di Lampung, Aji Aditya.

Setiap dia membawakan lelucon tersebut, mayoritas penonton selalu tertawa, biasanya diiringi tepukan. Apalagi Aji mengakhiri leluconnya dengan kalimat yang "nyelekit" , "iya ya, di Lampung lebih gampang nemuin tukang pecel lele ketimbang yang jual seruit."

Keresahan yang dirasakan komika Lampung tersebut juga dirasakan oleh kalangan lainnya. Salah satu tokoh Lampung yang berstatus sebagai desainer senior di daerah itu, Aan Ibrahim, juga mengeluhkan hal yang sama.

"Susah sekali mencari menu seruit di restoran di Lampung, kalaupun ada harganya tidak masuk akal," kata pria yang memiliki gelar adat Sultan Saeguk aguk tersebut.

Menurut Aan, kondisi ini berkebalikan apabila dia berkunjung ke daerah lain di Indonesia. Di sana, orang sangat mudah menemukan makanan asli daerah tersebut.

"Kalau saya ke Surabaya, sangat mudah menemukan tukang jual rujak cingur di pinggir jalan, atau kalau ke Semarang, lumpia ada di mana-mana, dari kaki lima sampai bintang lima," kata dia.

Hal ini berbeda dengan makanan khas Lampung.

Menurut Aan, makanan khas Lampung, dengan menyebutkan seruit sebagai contoh, hanya bisa ditemukan di rumahan. Tidak banyak pedagang kaki lima atau restoran yang memilih seruit sebagai menu makanannya.

Kondisi ini, menurut Aan, karena sistem ekonomi. Ada permintaan, ada barang. Kondisi masyarakat Lampung yang cenderung heterogen menurut dia adalah salah satu penyebabnya.

"Kita ini kan Indonesia mini, jadi memang sangat heterogen dalam segala hal menyangkut kehidupan sehari-hari, termasuk makanan," kata dia.

Seandainya ada penjual seruit, Aan melanjutkan, biasanya tidak bertahan lama. Hal ini terjadi karena strategi penjualan yang buruk.

Secara kultural, Lampung memiliki dua masyarakat adat, yakni Lampung Sai Batin dan Lampung Pepadun. Keduanya sama-sama memiliki kebiasaan berkumpul. Saat berkumpul, diperlukan makanan yang bisa dinikmati bersama-sama, yaitu seruit.

Namun, kebiasaan makan seruit tidak dimliki oleh semua masyarakat adat. Bagi Lampung Pepadun, seruit adalah makanan pokok.

Liza Mutiara yang merupakan keturunan asli Lampung Pepadun, memiliki keresahan yang sama dengan Aan Ibrahim.

Keresahan tersebut ditindaklanjutinya dengan tindakan.

Liza Mutiara dan Dodi, suaminya memutuskan untuk membuka kembali warisan sambal seruit untuk masyarakat umum.

Dia membuka "lapak dagangannya" di salah satu sudut kota Bandarlampung. Selama hampir dua tahun terakhir mereka berjibaku membuka restoran untuk melestarikan kuliner dan sambal asli Lampung.

Sejak 2014 Liza membuka restoran bernama Dapur Tatu. Restoran mereka berlokasi di kampung tua masyarakat Lampung di tengah kota Bandarlampung, yang bernama Tiuh Kedamaian.

Menu utama restorannya adalah seruit, sementara minuman yang disajikan juga minuman khas Lampung, yakni serbat.

Serbat adalah jus buah mangga kueni yang dicampur dengan gula aren.

Selain dapat menikmati seruit, di restoran ini Dodi dan Liza mengizinkan para pengunjung untuk melihat proses meracik seruit. Bukan hanya meracik, mereka juga memberikan penjelasan sekaligus filosofi makanan tersebut.

Seruit adalah makanan yang merupakan perpaduan antara sambal terasi, sari sayuran rebus, tempoyak atau durian fermentasi, dan ikan bakar (biasanya ikan gabus). Seruit banyak dikonsumsi sebagai pelengkap nasi, dan biasanya dimakan secara bersama-sama.

Tidak berbeda dengan sambal-sambal lain di Nusantara, sambal seruit dibuat dengan bahan-bahan sambal standar yakni terasi dengan pedas yang menusuk. Saat disajikan, sambal seruit pun disajikan dalam piring yang berbeda dengan bahan seruit lainnya.

Perbedaan rasa sambal seruit baru terasa dan khas saat dikonsumsi. Sebelum dikonsumsi, sambal seruit dicampur dengan potongan ikan bakar, tempoyak, sari timun rebus, dan sedikit kuah pindang. Setelah diaduk dalam satu piring, barulah sambal seruit bisa dimakan sebagai pendamping makan nasi.

"Filosofi makanan ini adalah makanan yang dinikmati bersama, ngariung kalau kata orang Sunda. Kebersamaan yang dipersatukan oleh makanan, meluluhkan perbedaan," kata Liza.

Sementara Isna Adiyanti yang merupakan pekerja di sebuah perusahaan multinasional di Lampung, juga berupaya melestarikan seruit dengan membuka restoran.

Ia kerap bertemu dengan ekspatriat di tanah kelahirannya, dan meja makan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan untuk menumbuhkan keakraban antara dirinya dengan kolega.

Setiap mengajak tamunya makan, Isna selalu gagap saat tamunya "menodongnya" untuk menikmati makanan khas daerahnya. Bukan apa-apa, dirinya jarang menemukan restoran yang dengan bangga menyajikan nuansa Lampung dalam menunya.

Kondisi tersebut mendorong Isna bertindak.

Dia mendirikan sebuah rumah makan dengan makanan Lampung Pesisir sebagai sajian utamanya. Kuliner Lampung Pesisir, yang meliputi wilayah pantai timur, selatan dan barat Lampung.

"Juru masaknya saya datangkan dari kampungku untuk menjaga keaslian rasa dan aroma," kata dia.

Beberapa menu khas Lampung Pesisir yang nyaris susah ditemukan bisa didapatkan di restorannya, yang dia namai "Cik Wo". Salah satu makanan khas Lampung wilayah pesisir yang saat ini nyaris sulit ditemukan adalah "tabo iwa tapa semalam".

"Tabo iwa tapa semalam" adalah makanan ikan berkuah santan yang istimewa dari kawasan Lampung pesisir. Menu ini banyak ditemukan sebagai makanan rumahan masyarakat di wilayah Lampung Barat. Sangat sulit untuk mencari makanan seperti ini di berbagai restoran di Lampung, bahkan restoran yang mengklaim diri mereka sebagai restoran yang menyajikan makanan khas Lampung sekalipun.

Satu-satunya

Restoran Cik Wo di Bandarlampung, mungkin menjadi satu-satunya restoran di Lampung yang menyajikan makanan ini sebagai menu utamanya. Atas upayanya melestarikan makanan tradisional langka tersebut, restoran ini mendapat penghargaan dari Kementerian Pariwisata karena dianggap aktif mengupayakan pelestarian kuliner asli Nusantara.

Restoran yang sudah berdiri sepanjang setahun terakhir tersebut, kerap menjadi incaran penggila kuliner, khususnya penggila kuliner tradisional.

Restoran milik Liza dan Isna mungkin bukan satu-satunya restoran di Bandarlampung yang menyajikan menu khas lampung. Namun, mereka yakin bahwa keberanian itu bisa menimbulkan euforia baru terhadap makanan khas Lampung sehingga laris, atau sebaliknya, bangkrut karena tidak laku.

Peminat makanan Lampung bukan hanya masyarakat Bandarlampung, namun juga wisatawan dari berbagai daerah yang mengunjungi Kota Bandarlampung yang merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Dalam sebulan, omzet yang diperoleh Dapur Tatu bisa mencapai Rp60 juta hingga Rp80 juta.

Sedangkan Isna mengaku, dalam sebulan dirinya bisa mendapatkan keuntungan hingga di atas Rp10 juta.

Meski demikian, seperti kata Liza, pemilik Dapur Tatu, bukan keuntungan yang dikejarnya.

"Kebanggaan dapat melestarikan kuliner asli Lampung, yang merupakan tanah kelahiran saya, itu jauh lebih bernilai dan tidak bisa diuangkan," kata Liza. (Triono Subagyo & Agusta Hidayatullah)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.