Sukses

Menegok Tradisi Tenun Suku Kalumpang Sulawesi Barat

Sepenggal kisah tenun ikat tradisional sekomandi. Sepertinya, sebuah perhatian khusus perlu diberikan agar kain warisan ini tetap lestari.

Liputan6.com, Makasar Sesuai data Ahli Arkeologi, Keberadaan suku Kalumpang purba adalah suku dari Ras Austronesia Neolitikum yang dihuni penduduk asli, sebelum kedatangan orang-orang Proto Melayu 3600 tahun sebelum Masehi.

Hal ini diungkapkan Anny Marimbunna Pakata yang peduli pada pelestarian seni budaya Indonesia khususnya Sulawesi kepada Liputan6.com, Minggu (15/11/2015).

Anny sapaan akrab Anny Marimbunna mengungkapkan, ragam tradisi yang dimiliki suku Kalumpang juga menyimpan kekayaan alam seni tradisi leluhur ratusan tahun yang unik dan masih terjaga hingga saat ini.

Salah satu tradisi yang masih melekat di suku Kalumpang yakni, tradisi menenun yang dikenal dengan tenun ikat tradisional sekomandi. Tepatnya berada di desa kondobulo dan karataun kecamatan Kalumpang Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat.

"Jaman dahulu kala selain dibuat untuk kepentingan sendiri, pakaian adat tenun ikat ini juga menjadi alat tukar bernilai tinggi. Biasanya dibarter dengan beberapa hewan peliharaan seperti kerbau atau babi," jelasnya.

Keunikan kain tenun Ikat Kalumpang, kata Anny terdapat pada pola warna dan struktur kain. Dimana semua proses pengerjaannya dilakukan dengan tangan atau ditenun dengan menggunakan alat-alat tradisional lainnya. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan-bulan untuk memproduksi sehelai kain tenun ikat sekomandi tersebut.

"Jadi jangan heran apabila kain tenun ini dibandrol dengan harga tinggi, hingga puluhan juta rupiah," katanya.

Salah seorang penenun yang masih aktif, Marlin Sa'bi mengatakan, jika proses Tenun Ikat Kalumpang dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama dilakukan proses pemintalan benang dari kapas yang biasanya diambil dari tanaman kapas, yang ditanam penduduk desa di wilayah Kalumpang.

Kemudian, tahapan kedua adalah proses mengikat kumpulan benang yang merupakan salah satu teknik sebelum benang diwarnai. Selanjutnya, memasuki proses tahapan selanjutnya, yakni tahapan pewarnaan. Bahan perekat warna yang digunakan terdiri dari cabe, kemiri, lengkuas, jahe dan kluwak. Sementara itu, bahan rendaman kain yang dipakai terbuat dari pohon palli atau sejenis kulit kayu.

"Setelah air rendaman diambil dan dicampur dengan perekat warna tadi, campuran perekat warna kemudian dipoleskan ke benang hingga meresap. Selanjutnya benang dijemur selama 30 hari untuk memperkuat warna dan juga agar tidak luntur ," terangnya.

Benang yang sudah diberi warna dasar, biasanya berwarna cream kekuning-Kuningan. Setelah itu benang kemudian diikat perkelompok sekitar 12 Helai benang yang diikatkan pada alat yang disebut Katadan.

"Katadan adalah sebuah alat untuk menahan benang pada saat diikat agar rapi. Dan benang yang diikat inilah yang nantinya akan membentuk corak kain,"ungkapnya.

Selain itu, untuk menciptakan motif tertentu, sang penenun sebelumnya tidak membuatkan pola atau sketsa pada benang yang diikat pada katadan. Namun menurut Marlin, pembuatan pola motif dan sketsa terjadi dalam pikiran dan imajinasi penenun.

"motif yang dibuat bukan sembarang motif tetapi motif - motif tersebut ada jenisnya dan memiliki makna. Diantaranya ada Motif Ba'ba diata, Lele Sepu Ulu Karua lepo, Ulu Karua Barinni Pori dappu, Tosso' Balekoan, Tonoling, dan motif Toboalang,"urainya.

Tak sampai disitu, setelah motif terbentuk maka dilakukan pewarnaan merah dari akar kayu Mengkudu. Dimana, benang bermotif tersebut dimasak kemudian dicuci dan dijemur hingga kering. Setelah kering lalu dimasukkan kembali kedalam Katadan, untuk diikat kedua kalinya.

"Setelah itu lanjut ke Proses pemberian pewarnaan hitam dan biru dari daun Tarun, dan daun Bilatte. Daun-daun juga dimasak lalu dikeringkan dan dimasukkan kembali ke dalam Katadan untuk diikat kesekian kalinya," tutur Marlin.

Tahap terakhir adalah proses penenunan kain. Dimana, pada tahap awal benang yang telah direbus kemudian diberi warna lalu tali pengikatnya dibuka dengan ekstra hati-hati.

"Tujuannya agar susunan benang dan susunan warna tidak kacau. Benang diikat satu persatu lalu dipasang ke alat tenun dan siap ditenun ,"cetusnya.

Saat ini, sudah tidak banyak orang yang bisa menenun kain ikat sekomandi. Menurut Marlin, diperlukan perhatian khusus agar kain warisan nenek moyang ini tetap lestari. Apalagi motif tenun ikat dari Kalumpang dikenal sebagai salah satu ragam motif tertua di dunia. (Eka Hakim)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini