Sukses

Mengenal Para Pelopor Pembuat Gudeg di Yogyakarta

Festival Gudeg Wijilan digelar untuk mengapresiasi pelopor pembuat gudeg di Yogyakarta.

Liputan6.com, Yogyakarta- Festival Gudeg Wijilan digelar untuk mengapresiasi pelopor pembuat gudeg di Yogyakarta. Dalam acara festival ini, penghargaan diberikan kepada para pelopor pembuat gudeg seperti Ibu Slamet, Ibu Djum dan Ibu Lies. Beberapa tokoh gudeg ini dinilai telah mengangkat gudeg sebagai ikon kota Jogja.

Chandra Setiawan Kusuma, selaku ketua paguyuban gudeg Wijilan mengatakan demi menyemarakkan kegiatan festival gudeg tersebut maka panitia membuat seribu lebih porsi gudeg bagi warga yang datang.

"Setiap paguyuban membuat resep dengan aneka rasa, kita sediakan dua kuintal gori. Lebih dari seribu porsi agar tidak kecewakan pengunjung. Lalu lebih dari seratus kilo ayam," ucap Chandra di Wijilan, Selasa (23/12/2014).

Sementara itu, Bu Slamet yang sudah berumur 89 tahun mengisahkan awal mula keluarganya berjualan gudeg di Jogja. Bu Slamet mengaku belajar membuat gudeg dari ibunya sekitar tahun 1946. Saat itu, ia membantu sang ibu untuk membuat gudeg di dapur. Pada saat itu, Bu Slamet membuat gudeg basah bukan gudeg kering. 

"Mulai saat serangan umum satu maret itu pas agresi Belanda tahun 1946. Waktu itu gudeg basah. Belum kering kayak sekarang," ujar Bu Slamet.

Eni Hartono, putri Yudjum atau Djuwariyah yang juga merupakan salah satu pelopor pembuat gudeg di Yogyakarta menceritakan, saat itu ibunya belajar membuat gudeg dari sang nenek. Saat itu pun Yu Djum mulai berjualan ketika umurnya menginjak 17 tahun. Pada saat itu, gudeg menjadi makanan rakyat Jogja.

Sekitar tahun 1956 gudeg mulai banyak dijual dan menjadi simbol makanan rakyat. Demi menjamin cita rasa gudeg yang enak dan mantap, Gori atau nangka yang digunakan untuk membuat gudeg diambil dari kawasan Prembun Kebumen. Eni menjelaskan jika dalam satu hari, satu kuintal gori ludes terjual. Sementara saat memasuki musim liburan, maka pesanan akan meningkat hingga dua kali lipat.

"Bu Djum dari ibunya. Bu Djum jualan saat usia 17 tahun ya tahun 56-an," ujar Eni.

Selanjutnya Liesdiyah Dharmawati atau Bu Lies adalah salah satu pelopor pedagang gudeg di Wijilan mengatakan ia memulai usahanya pada tahun 1993. Saat itu pihaknya hanya latihan sendiri dan mulai menjual gudeg di emperan jalan. Hingga akhirnya ada tiga penjual gudeg di Wijilan pada tahun 2001.

Usai tahun itu pihaknya melihat banyak warga yang juga berjualan di pinggir jalan. Sampai akhirnya tahun 2001 Wijilan mulai ramai pedagang yang jualan gudeg. Awalnya yang berjualan gudeg hanya tiga orang namun usai tahun 2001 mulai  banyak pedagang gudeg di sepanjang jalan Wijilan.

"2001 baru beli rumah di sini. Saya suka masak. Saya ingat, pertama kali memasak gudeg, saya menggunakan satu ekor ayam, sepuluh telur, satu kilo gudeg, krecek satu kilo pas mau hari raya. Bisa kumpul itu karena dari keluarga. Nenek saya dulunya berjualan gudeg di tempat ini, lalu saya beli tempatnya. Nenek saya di sini tetangganya bu Slamet itu. Satu umur sama nenek saya. Ibu saya nggak jual gudeg. Tahun 2000 ada tiga penjual gudeg Bu Djum, Bu Slamet dan saya. Tahun 2001 mulai muncul yang lain cepat sekali. Jadi pesatnya tahun 2000-an," ujarnya.

Lies menjelaskan perbedaan gudeg buatan Jogja dan buatan kota lain. Gudeg Jogja cenderung kering dan tahan lama dari gudeg buatan Solo atau daerah lain.

"Wijilan tidak ada kuah. Ayamnya kampung telurnya bebek. Kreceknya kering. Tahan lama jadi 24 jam tahan karena dimasak sampai benar benar matang," ujarnya. (Fathi Mahmud/Ars)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini