Sukses

Sejarah Rasisme dan Pose Telanjang Bokong Kim Kardashian

Ada cerita rasis dan misoginis dibelakang pose bokong besar Kim Kardashian untuk Paper Magazine.

Liputan6.com, New York It’s always either too much or too less of Kim Kardashian. Anda mungkin berpendapat bahwa segala hal yang dilakukan itu berlebihan dengan `minimnya` tampilan Kim di berbagai publikasi. Kesimpulan yang akhirnya Anda tarik adalah bahwa Kim adalah sosok yang lebay tapi sesungguhnya ia kurang inilah dan kurang itulah.

Entah apa yang ada di benak Kim saat ia bersedia untuk tampil di Paper Magazine dengan pose-pose yang jadi topik panas pembicaraan di sosial media. Mungkinkah ia saat itu berpikir tentang cara untuk semakin eksis di dunia entertaintment? Ataukah ia berpikir bahwa hal tersebut merupakan satu cara dalam merayakan independensi seksual seorang perempuan?

Sulit mencari kejelasan tema `Break the Internet` yang diangkat oleh Paper Magazine – dan hubungannya dengan foto-foto kontroversial Kim di majalah itu – dalam sebuah artikel berjudul `No Filter: An Afternoon with Kim Kardashian` yang terbit secara online pada 12 November 2014.

Para pembacanya harus membangun sendiri jembatan antara bahasan tentang fenomena Kim sebagai bintang sosial media dan pose-poses kontroversial Kim di sana. Mungkin jembatan itu adalah opini tentang kesuksesan Kim lewat sosial media melalui tubuh yang sering dieksposnya.

Terkait segenap artikel yang membahas pose-pose Kim di sana, menarik untuk bertanya bagaimana reaksi Kim bila ia tahu bahwa pose fotonya itu merupakan reka ulang dari foto berjudul `Champagne Incident` atau bernama resmi `Carolina Beaumont, New York` karya fotografer Prancis, Jean-Paul Goude, yang oleh banyak pihak dinilai mengobjektifikasi tubuh perempuan.

Champagne Incident (1976) menampilkan sosok model dan penyanyi kulit hitam asal Jamaika, Grace Jones, tanpa busana memegang botol champagne yang isinya terpancur ke gelas yang letaknya ada di atas bokong sang model.

Sebuah artikel di Styleite.com berjudul `Kim Kardashian’s Paper Cover Has a Race Problem that No One is Talking About` tertanggal 12 November 2014 mengutip pendapat Janell Hobson, penulis buku `Venus in the Dark: Blackness and Beauty in Popular Culture`, tentang foto Champagne Incident itu.

Dikatakan Hobson “Model itu mendapat tata rambut eksotis dan tersenyum ke kamera dengan pose yang menyatakan `senang untuk melayani` di mana hal itu memposisikan tubuhnya sebagai sebuah objek kesenangan seksual yang primitif untuk lelaki kulit putih”. Mengelaborasi bahasan tentang objektifikasi tubuh perempuan dalam kaitannya isu rasisme, blogger The Grio menyebut tokoh Saartjie Bartman.

Seperti dilansir dari Time.com, Minggu (16/11/2014), Saartjie Baartman adalah sosok perempuan etnik Khoikhoi (di Barat Daya Afrika) kelahiran tahun 1770-an yang diangkat sebagai simbol rasisme, penjajahan, dan objektifikasi tubuh perempuan. Awalnya bekerja sebagai budak petani Belanda, nasib membawa Baartman tiba di London pada usia hampir 30 tahun.

Di sana, Baartman dipertontonkan telanjang kepada publik sambil terkadang memainkan alat musik atau menari tarian etnik Khoikhoi. Orang-orang kaya saat itu bisa menanggap Baartman secara privat di rumahnya dengan membayar ekstra. Fasilitas ekstra yang diberikan dari sewa pribadi itu adalah bahwa tubuh Baartman yang memang berbokong besar boleh dipegang.

Kemudian hari, pertunjukan Baartman ini dipindah ke Paris di mana ia dipamerkan selama 10 jam per hari. Pada saat itu ketertarikan pada tubuh Baartman pindah ke wilayah sains, yakni terkait ukuran bokongnya yang sangat besar. Para ilmuwan menjadikan Baartman sebagai objek penelitian untuk membandingkan orang kulit hitam dengan orangutan.

Baartman meninggal dunia pada tahun 1810 dalam kemiskinan. Tubuh Baartman dipamerkan di sebuah museum di Paris hingga akhirnya para aktivis berhasil mempetisi agar tubuh Baartman dibawa ke tempat kelahirannya di Afrika.

Bicara tentang isu tubuh perempuan, memang benar jika dikatakan bahwa kala seorang perempuan memutuskan untuk tampil “terbuka” atas pilihannya sendiri, maka ia menunjukkan independensinya sebagai individu lewat eksekusi ekspresi ketubuhan. Namun tak perlukah juga dipikirkan tentang pesan holistik dari segala adegan yang dilakukannya itu?

Bila cerita dari adegan-adegan atau pose-pose itu adalah tentang bagaimana lelaki menjadi pengontrol tubuh perempuan yang diobjektifikasi, bukankah itu sama halnya dengan mencederai keputusannya di awal untuk menunjukkan kesetaraan perempuan?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.