Sukses

Nyam-nyam, Lezatnya Bon Garoet, Oleh-oleh Khas dari Garut

Selain dodol, ternyata kabupaten yang terletak di wilayah Selatan Jawa Barat ini, juga ternyata dikenal sebagai sentra penghasil abon.

Liputan6.com, Garut-
Belakangan, Kota Garut tak hanya dikenal sebagai kota dodol atau dombanya. Berkat kreativitas masyarakatnya, dari kota ini juga lahir beberapa produk unggulan seperti cokelat, jaket kulit atau batik. Bahkan, tak berhenti sampai di situ. Kabupaten yang terletak di wilayah Selatan Jawa Barat ini, juga ternyata dikenal sebagai sentra penghasil abon.

Sayangnya, pengrajin produk olahan daging seperti abon di Garut sudah terbilang langka. Hanya segelintir warga Kota Garut yang masih terus memproduksi olahan daging seperti abon, dendeng atau produk lainnya secara turun temurun.

Salah satu perusahaan abon yang masih bertahan adalah PT. Tiga Dara yang memproduksi abon sapi merek Bon Garoet. Menurut pemilik PT Tiga Dara, Darsa, salah satu sentra produksi abon sapi di Kota Garut terdapat di kampung Sanding Kecamatan Garut Kota. Di daerahnya ini, abon sudah diproduksi secara tradisional sejak 1960-an.  Selain abon, juga terdapat produk olahan daging lainnya, yaitu abon ayam, dendeng dan jando atau dendeng lemak.

Darsa menuturkan, ia awalnya merintis bisnis ini dengan perjuangan yang sangat berat kerena modal terbatas. Ia pun memberanikan diri membuat abon setelah mendapat bantuan dan kepercayaan dari rekanan.

"Untuk modal utama berupa daging, saya sampai ngutang dahulu dan langganan daging di pasar kota Garut. Setelah jadi abon, saya pasarkan sendiri dan titip di sejumlah warung kecil di pasar," ujarnya.

Dalam perkembangannya, abon yang diproduksinya mendapat tempat di hati masyarakat. Apalagi kalau bukan karena memiliki kualitas yang tinggi karena dibuat dan daging sapi pilihan dengan campuran bumbu rempah yang khas dan tidak menggunakan bahan atau zat kimia pengawet.

Proses pembuatan abon, jelas pria kelahiran Garut ini, tidak semudah yang orang bayangkan. "Membuatnya harus dengan daging yang terbaik, enggak bisa sembarangan. Kualitas terbaik itu ada pada bagian paha. Dalam membuat abon, tidak boleh ada lemak sama sekali. Kalau ada lemak, abonnya hancur, teksturnya tidak akan berserat, rasanya nggak enak sehingga merusak keseluruhan rasa," paparnya. 

Salah satu kelebihan paling utama dari abon buatannya, kata Darsa, ia  masih mempertahankan cara memasak tradisional dengan menggunakan tungku kayu bakar. "Memasak dengan cara ini akan sangat berpengaruh pada aroma dan rasa," lanjutnya.

Selain itu, abon sapi ini telah memiliki Sertifikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta izin produksi dari Dinas Kesehatan sebagai bukti telah memenuhi kualitas standar produk. Dengan dua syarat tersebut, ia yakin abonnya dapat lebih mudah diterima oleh konsumen.

Kemasan Lebih Modern

Meski masih mempertahankan cara produksi tradisional, namun dalam hal pemasaran  Bon Garoet ini tidak mau ketinggalan zaman. Untuk mendongkrak penjualan, Darsa melakukan sejumlah strategi di antaranya melakukan rebranding dan perubahan kemasan. 

Dibantu keponakannya, Asep Candra, ia memperbarui logo yang merupakan identitas usahanya dengan desain lebih modern, namun tidak lepas dari identitas Kota Garut sebagai kota wisata berjuluk "Swiss van Java". Darsa pun mengembangkan bisnis abon asli kota Garut ini supaya lebih dikenal luas ke berbagai daerah memanfaatkan media internet dan jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook.

Selain dititip di toko oleh-oleh di pusat wisata kota Bandung seperti Jalan Pasteur dan Cihampelas, Bon Garoet juga dipasarkan dengan sistem keagenan dan reseller. Dengan model bisnis ini, penjualan lebih berkembang. Hingga kini, sudah ada puluhan reseller di Jabodetabek dan beberapa kota lain yang rutin dikirim produk setiap harinya.

Diakui Asep, penjualan Bon Garoet juga meningkat setelah menggunakan kemasan yang menarik dan lebih modern. Pada awalnya, abon sapi asal Garut ini hanya menggunakan kemasan plastik transparan yang disablon manual. Kemasan plastik ini rentan bocor dan rusak sehingga kualitas abonnya bisa berubah.  Ia lalu beralih pada kemasan stand up pouch berbahan kombinasi plastik dan aluminium yang dilengkapi stiker untuk label. Namun kemasan ini pun masih membuatnya kurang puas karena tidak terlalu menarik. 
 
Asep pun lalu menggunakan bahan paper metal dengan desain kemasan unik bertema vintage. Walaupun masih ada kekurangan, Asep menilai material ini sudah jauh lebih baik dan dapat memenuhi kebutuhan desain.

"Perubahan kemasan baru ini sudah sejak lama diperhitungkan menyesuaikan segmen pasar abon kami yang segmennya premium. Dari segi harga, memang menjadi lebih mahal. Tetapi konsumen nyatanya semakin yakin dengan produk kami. Selain enak, abonnya lebih terjamin dari segi kualitas dan lebih bergengsi," papar Asep.
 
Tak hanya mulai terkenal di negeri sendiri, Bon Garoet juga sudah mulai banyak dijadikan oleh-oleh untuk dibawa ke luar negeri. Heri Suherman, auditor di sebuah bank internasional pernah membawa Bon Garoet ini dalam kunjungannya ke London beberapa waktu lalu sebagian oleh-oleh untuk keluarganya yang tinggal di Inggris. "Rasanya lebih gurih dan lebih terasa dagingnya ketimbang abon biasa," cerita Heri kepada Liputan6.com.
 
Bon Garoet saat ini tersedia dalam dua rasa: pedas dan original. Namun favoritnya hingga saat ini adalah yang original. Abon ini dibuat tanpa pengawet sehingga hanya bisa tahan hingga 5 bulan dalam kemasan tertutup. Namun apabila hendak disimpan dalam kemasan terbuka, sebaiknya dipindahkan dulu kedalam toples agar bisa bertahan lama seperti di kemasan tertutup. 
 
Harga yang dipatok Bon Garoet untuk kemasan 150 gram adalah Rp 45 ribu, sementara yang 200 gram dibanderol Rp 60 ribu. 
 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.